Posts

DEMOKRATISASI DESA: Kendala, Prospek, dan Implikasi Kebijakan

“Semangat reformasi sudah merambah ke masyarakat pedesaan. Pada hari Kamis, 16 Januari 2003, penduduk Desa Keboromo (Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah) menggelar “pengadilan rakyat” terhadap kepala desa, sejumlah perangkat desa; ketua, wakil, dan sejumlah anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) yang didakwa terlibat penyalahgunaan uang ganti rugi tanah proyek jalan lingkar kota Tayu. Semua tersangka mengakui, dan tidak melakukan pembelaan sama sekali. Ketika rakyat menghendaki semua uang ganti rugi (sejumlah Rp 89,8 juta) harus dikembalikan paling lambat 20 Januari (hanya berselang 4 hari sejak pengadilan diadakan), para tersangka menyetujui begitu saja. Pada saat hari pengembalian tiba, para tersangka hadir lagi dan mengembalikan seluruh uang ganti rugi tanah proyek jalan lingkar. Uang sebanyak Rp 89,8 juta yang dibungkus dalam dua kantong plastik warna hitam dihitung ulang satu per satu, dan disaksikan secara langsung oleh warga desa” (Kompas, 25 Januari 2003). read more

Membangun Tata Pemerintahan yang Baik Melalui Transparansi Anggaran

 

Penulis:
Agus Dwiyanto dan Bambang Wicaksono

Penelitian:
“Governance and Decentralization Survey (GDS) 2002″

Transparansi merupakan salah satu indikator penting untuk menilai kualitas suatu tata pemerintahan. Tata pemerintahan di suatu kabupaten/kota dinilai baik kalau semua kegiatan dan tindakan pemeirntah diketahui oleh stakeholders dan warga kabupaten/kota itu. Oleh karenanya, tata pemerintahan yang baik memerlukan adanya keterbukaan dalam proses pengambilan kebijakan terhadap masalah-masalah publik dan keterlibatan multistakeholders dalam proses tersebut (The BIGG, 2002). Dengan demikian, transparansi dinilai dari seberapa jauh kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah kabupaten/kota dipahami oleh masyarakat melalui ketersediaan informasi kebijakan yang mudah diakses oleh masyarakat (Finkelstein, 2000). Untuk menilai transparansi dari tata pemerintahan yang ada di kabupaten dan kota, tulisan ini menggunakan kasus kebijakan anggaran. Kebijakan anggaran dinilai strategis karena kebijakan ini menunjukkan bagaimana perilaku pemerintah kabupaten/kota dalam mengalokasikan anggaran untuk membiayai program-program publik (Christensen, 1995L 265). [] read more

MELAWAN KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME

 

Penulis:
Agus Dwiyanto dan Setiadi

Penelitian:
“Governance and Decentralization Survey 2002″

Wacana yang muncul bersamaan dengan pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 adalah pro dan kontra mengenai dampak pelaksanaan otonomi daerah terhadap meluasnya praktik KKN. Kewenangan yang amat besar pada pemerintah kabupaten dan kota tanpa diikuti dengan menguatnya masyarakat sipil hanya akan memperluas praktik KKN di daerah dan akan lebih merugikan kepentingan publik. Namun, sebagian pengamat berpendapat bahwa perluasan praktik KKN itu adalah wajar, bersifat sementara, dan akan berkurang intensitasnya sejalan dengan semakin menguatnya kapasitas masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan terhadap praktik penyelenggaraan pemerintahan. Otonomi daerah yang menggeser praktik pengambilan keputusan menjadi lebih dekat dengan stakeholders-nya di daerah, diyakini akan mampu meningkatkan partisipasi dan kapasitas stakeholders di daerah dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Meluasnya praktik KKN pasca pelaksanaan otonomi daerah memang harus dihindari, namun tidak perlu membuat pemerintah ragu dalam melaksanakan otonomi daerah. [] read more

MIGRASI INTERNASIONAL: Strategi Kelangsungan Hidup pada Era Krisis Ekonomi

Pada kenyataannya, adalah sulit untuk menemukan angka pasti jumlah pekerja migran Indonesia yang bekerja diluar negeri, terlebih besarnya jumlah pekerja ilegal. Namun demikian, tidak terbantahkan bahwa jumlah pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri meningkat dengan pesat. Pada periode 1998-1999 terdapat peningkatan yang cukup signifikan jumlah pekerja Indonesia diluar negeri. Data terbaru menunjukkan bahwa dua tahun terakhir (1999-2001), jumlah TKI sebanyak 968.260, dengan rata-rata penempatan 387.304 pekerja dalam setiap tahun. Dari total, 47,52 persen pekerja bekerja di negara ASEAN, 34,5 persen di Timur Tengah, 17,52 persen di Asia Pasifik, 0,7 persen di Eropa dan AS dan 0,06 persen di negara lainnya. Krisis ekonomi telah mendorong orang untuk mencari pekerjaan di luar negeri (Romdiati, Handayani and Rahayu, 1998). read more

Kebijakan Pengembangan Kapasitas Birokrasi Menuju Good Governance

Era otonomi daerah menandai lahirnya kondisi politik pemerintahan yang diharapkan akan lebih publik akuntabel, responsif, efisien, dan efektif. Birokrasi sebagai bagian dari instrumen regulatif dan penyelenggara pelayanan publik, merupakan salah satu sasaran utama pembenahan kinerja pelayanan yang selama ini dirasakan kurang dapat memenuhi harapan publik. Serangkaian isu menyangkut pembenahan atau reformasi dalam tubuh birokrasi publik, seperti pada aspek sistem, struktur, manajemen, maupun kultur birokrasi sebenarnya bermuara pada pentingnya proses adaptasi yang harus dilakukan oleh birokrasi karena adanya perubahan lingkungan yang sangat cepat dan mendasar. Era otonomi merupakan era dimana publik dapat secara bebas dan terbuka mengkritisi kinerja birokrasi, seperti dalam pemberian pelayanan publik baik di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, dan sebagainya. Pendek kata, publik saat ini menuntut adanya transparansi dalam setiap kebijakan, program, maupun kinerja birokrasi pemerintah. read more

MIGRAN INDONESIA DI MALAYSIA: Memburu Ringgit di Balik Sebatan Rotan

Rasanya tidak terlalu sulit untuk menebak arah kebijakan politik dan ekonomi Malaysia dalam konteks tenaga kerja internasional. Malaysia yang dibesarkan di bawah ketiak pekerja migran internasional sebenarnya tidak mampu untuk mendirikan “tenda perlindungan” apalagi gedung megah seperti yang terlihat sekarang tanpa kehadiran tenaga kerja asing. Sebuah ironi dimana perubahan drastis dari komunalisme ekonomi ke alam modernisasi telah melumpuhkan rasa terima kasih sebuah negara bangsa yang dibesarkan dan dibina oleh sebagian besar pekerja asing di hampir seluruh lini pembangunannya. Sebuah alasan politis yang sebenarnya telah menciptakan jebakan politik bagi hubungan-hubungan ekonomi sosial dan politik regional atas nama stabilitas dan keamanan dalam negeri. Akan tetapi, patut pula dipertanyakan tidakkah stabilitas ekonomi nasional baik dalam konteks negara asal maupun negara tujuan, juga telah diperkuat oleh aktivitas migrasi yang berlangsung dalam volume tinggi? Jika aktivitas migrasi yang berlangsung selama ini telah memberikan kontribusi besar dalam proses pembangunan, lalu kenapa tidak ada satu penghargaan pantas yang pernah diberikan kepada para pekerja migran? read more

SUMBANGAN DAN SOLIDARITAS SOSIAL: Jerat Kultural Masyarakat Pedesaan Jawa

“Nek wis dipunjung/ditonjok, gelem ora gelem kudhu nyumbang. Nek wis ngono, mung mumet sirahe” (kalau sudah diantar makanan/punjungan ke rumah, mau tidak mau harus memberikan sumbangan. Kalau sudah begitu, pusing kepala ini memikirkan darimana dapat uang).”

Beberapa tulisan klasik tentang kebudayaan Jawa, banyak mengemukakan bahwa masyarakat pedesaan Jawa hidup dalam keharmonisan dan penuh dengan kegiatan tolong menolong. Koentjaraningrat (1974) menjelaskan bahwa hubungan resiprositas sangat kuat di pedesaan Jawa. Di daerah pedesaan Jawa, suatu rumah tangga pertama-tama harus menjaga hubungan yang baik dengan tetangga sekitarnya, kemudian dengan keluarga-keluarga lain sedukuh dan baru kemudian dengan keluarga lain yang tinggal di dukuh-dukuh lain. Penekanan hubungan baik dengan tetangga yang harus dipupuk pertama kali menandakan bahwa peran dan fungsi tetangga sangat penting bagi masyarakat pedesaan. Jalinan hubungan baik itu bahkan harus mengalahkan hubungan baik dengan kerabat yang berada di tempat yang lebih jauh. read more

Perluasan Kota dalam Realitas Sosial dan Kultural Masyarakat

Tingginya kecenderungan perluasan kota merupakan isu menarik apalagi jika dikaitkan dengan meningkatnya kebutuhan ruang hunian (living space) penduduk kota di desa-desa pinggiran kota dan kepentingan konservasi lahan-lahan produktif di desa-desa pinggiran kota tersebut. Proses perluasan kota telah memberikan dampak pada perubahan desa-desa yang berbatasan langsung dengan kota yang tidak hanya secara fisik keruangan namun juga secara sosial dan kultural. Metoda pendekatan pengembangan pola keruangan wilayah menjadi penting untuk dikedepankan untuk memberikan arah dalam merumuskan konsideran sosiologis dan keruangan guna mengarahkan sasaran pengembangannya agar proses perubahan tersebut dapat berlangsung sesuai dengan arah dan tahapan yang benar. Pengembangan dan perluasan kota dapat direncanakan melalui 5 identifikasi meliputi: read more

NEGARA DAN PEREMPUAN: Makna Hidup dan Perjuangan Kartini untuk Bangsa

Presentasi ini disampaikan dalam rangka memperingati Hari Kartini, 21 April 2002. Tujuannya adalah untuk melakukan refleksi terhadap peran yang diberikan Kartini untuk bangsa ini. Refleksi ini penting karena beberapa hal. Pertama, Kartini adalah simbol perlawanan terhadap kultur dan struktur sosial yang memarginalkan perempuan. Perlawanan seperti ini masih terasa relevansinya karena hingga sekarang perempuan belum sepenuhnya terbebas dari diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan.

Makna perlawanan seperti ini kurang tampak pada setiap peringatan Hari Kartini. Perayaan seperti ini justru cenderung sarat dengan simbol-simbol yang berlawanan dengan nilai yang diperjuangkan Kartini (misalnya, penampilan perempuan berkebaya atau bersanggul, lomba masak dan sebagainya yang merupakan simbol domestikisasi perempuan). Kesempatan memperingati Hari Kartini sekarang ini dapat dijadikan sebagai momentum untuk memperbaiki persepsi masyarakat tentang peran pembebasan dari Kartini, dan pada gilirannya dapat merevitalisasi perjuangan perempuan untuk membangun masyarakat yang berkeadilan gender. read more

PEMBERDAYAAN EKONOMI PENDUDUK MISKIN DI DIY

Krisis moneter yang mulai sejak pertengahan tahun 1997 hingga saat ini membawa dampak yang cukup besar pada dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan rumah tangga. Sejalan dengan hal ini, jumlah penduduk miskin bertambah pesat dari sekitar 20,1 juta pada tahun 1997 meningkat menjadi sekitar 50,6 juta pada tahun 2000. Pada sisi lain, jumlah keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I yang diidentifikasikan sebagai keluarga miskin bertambah pula. Sebagian dari rumah tangga miskin tersebut telah mempunyai usaha sebelumnya dan berhenti karena adanya krisis moneter. read more