Tahap Perumusan Masalah Berpengaruh Besar Pada Analisis Kebijakan

21 October 2015 | admin
Events, Media, Workshop

Yogyakarta, PSKK UGM – Merumuskan masalah dan isu kebijakan merupakan tahap awal yang sangat berpengaruh dalam hampir seluruh proses analisis kebijakan. Kurang tepat atau salah dalam mengidentifikasi masalah, niscaya kebijakan yang dihasilkan pun tidak cukup mampu menyelesaikan permasalahan atau bahkan memunculkan permasalahan yang baru.

Hal tersebut mengemuka saat sesi diskusi “Teknik Perumusan Masalah Kebijakan” dalam Workshop Pembangunan Berwawasan Kependudukan yang diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bekerja sama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Kamis (8/10) lalu di Hotel Santhika Yogyakarta. Hadir sebagai pemateri, Kepala PSKK UGM, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna.

Hadna menyampaikan, ada beberapa tantangan pada tahap ini, antara lain mengidentifikasi masalah dengan tepat, menghilangkan bahan atau informasi yang tidak relevan, memiliki data yang kuat, fokus pada inti permasalahan, menemukan faktor-faktor yang penting, dan memastikan agar definisi masalah jauh dari ambiguitas.

Seoarang pakar kebijakan publik dari University of Pittsburgh, William N. Dunn dalam bukunya berjudul “Public Policy Analysis: An Introduction” pernah menuliskan, sedikitnya ada empat karakteristik suatu masalah dapat disebut sebagai masalah publik. Pertama, ketergantung di antara berbagai masalah. Permasalahan kebijakan bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Dia biasanya merupakan bagian dari seluruh rangkaian masalah yang terkait satu sama lain. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan holistik yang memandang setiap permasalahan sebagai hal yang tak terpisahkan.

Kedua, subyektivitas masalah kebijakan. Masalah kebijakan berangkat dari hasil pemikiran yang dibuat pada lingkungan atau kondisi eksternal tertentu. Maka, penting untuk membedakan antara situasi masalah dengan masalah kebijakan. Mengapa? Masalah merupakan abstraksi yang timbul dari transformasi pengalaman ke dalam penilaian manusia sehingga sangat mungkin bersifat subjektif. Ketiga, sifat buatan dari masalah. Masalah kebijakan memang merupakan produk penilaian subyektif namun, bisa didefinisikan sebagai kondisi sosial yang obyektif.

“Masalah tidaklah berada di luar manusia dan kelompoknya. Artinya, permasalahan apa yang ada di dalam masyarakat, dengan sendirinya merupakan masalah kebijakan,” jelas Hadna.

Ketiga, dinamika masalah kebijakan. Solusi terhadap masalah bisa berubah. Masalah publik yang sama belum tentu dapat dipecahkan dengan kebijakan yang sama pula, terutama saat konteks lingkungannya berbeda. Lebih lanjut, Hadna menambahkan, masalah yang sama juga belum tentu dapat dipecahkan dengan kebijakan yang sama, terutama jika konteks waktunya berbeda. Solusi masalah bisa menjadi usang meskipun masalah itu belum usang.

Selain karakteristik kebijakan, Dunn juga mengelompokkan masalah kebijakan ke dalam tiga, yakni masalah yang sederhana (well structured), masalah yang agak sederhana (moderately structured), dan masalah yang rumit (ill structured). Pengelompokkan ini bergantung pada tingkat kompleksitasnya, sejauh apa suatu masalah saling terkait satu sama lain. Kebanyakan, masalah kebijakan merupakan masalah yang rumit.

“Pada kenyataannya, masalah-masalah publik cenderung bersifat rumit sehingga menuntut para analis kebijakan atau policy maker untuk bisa mengembangkan alternatif kebijakan, sekaligus membuat pilihan kebijakan yang tepat,” jelas Hadna lagi.

Ada empat fase di dalam perumusan masalah yang biasa dilakukan oleh para analis kebijakan. Perumusan masalah biasanya dimulai dengan melihat situasi masalah. Para analis kebijakan akan melihat rangkaian situasi yang menimbulkan rasa ketidakpuasan publik atau merasa ada sesuatu yang salah. Di sinilah para analis terlibat dalam fase yang pertama, yaitu pencarian masalah (problem search). Fase kedua adalah pendefinisian masalah (problem definition) yang berpindah pada masalah substantif, yakni dengan mendefinisikan masalah tersebut dalam istilah yang paling mendasar dan umum. Fase ketiga adalah spesifikasi masalah (problem specification). Pada fase ini, masalah substantif berubah menjadi formal. Masalah telah dirumuskan secara spesifik dan jelas. Kemudian fase keempat adalah pengenalan masalah (problem sensing).

Melalui sesi ini, Hadna berharap para peserta workshop yang merupakan para Kepala Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN dan ketua pusat studi kependudukan dari seluruh Indonesia bisa memahami ciri-ciri masalah publik, memahami pengertian isu dan masalah kebijakan serta klasifikasi masalah kebijakan, memahami tahapan dalam perumusan masalah, hingga memahami metode-metode perumusan masalah kebijakan dan bagaimana menjalankannya dalam praktik. [] Media Center PSKK UGM