STUDI PERBURUHAN INDONESIA: Identitas Buruh Tidak Harus Selalu Dipahami dalam Konteks Hubungan Produksi

15 May 2015 | admin
Berita PSKK, Events, Media, Seminar

Yogyakarta, PSKK UGM — Adakah cara baru dalam memahami realitas perburuhan atau ketenagakerjaan di Indonesia? Adakah produksi pengetahuan baru di dalam studi-studi perburuhan?

Selalu ada data-data terbaru tentang perburuhan. Melalui media massa, masyarakat kerap dijejali dengan beragam informasi tentang perburuhan. Selain itu, banyak pula studi-studi perburuhan yang telah dilakukan oleh para peneliti maupun aktivis sosial. Semuanya menambahkan informasi baru untuk memperluas pemahaman kita. Namun, apakah hal yang dilakukan oleh peneliti, aktivis sosial, wartawan ataupun media massa itu memproduksi pengetahuan baru?

Staf pengajar School of Humanities and Social Sciences (HASS), The University of New South Wales (UNSW), Nico Warouw, Ph.D. dalam kesempatan mengisi seminar bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada mengatakan, ada kejenuhan di dalam studi-studi mengenai perburuhan. Tidak ada unsur kebaharuan di dalamnya. Ada begitu banyak produksi data dan informasi dari berbagai sumber, namun hal itu tidak bisa diklaim sebagai bentuk pengetahuan baru pula.

“Ada semacam kebuntuan dalam produksi pengetahuan tentang isu-isu perburuhan. Sebagai peneliti, kita bisa melakukan pemetaan guna menemukan ruang-ruang penelitian yang baru. Jadi, bukan hanya data baru, namun juga ada unsur kebaharuan di dalamnya,” kata Nico dalam seminar bertajuk “KAJIAN PERBURUHAN INDONESIA: Survei Literatur dan Agenda Penelitian” di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Rabu (13/5) lalu.

Mengutip seorang sosiolog dari Eropa, Aage B. Sørensen, Nico menyampaikan tiga pengetahuan besar atau peta untuk dapat memahami secara sederhana beragam data perburuhan yang ada. Pertama, kelas pekerja sebagai klasifikasi nominal (nominal classification). Menurut pandangan ini, kelas pekerja dilihat sebagai kategori demografis demi keperluan klasifikasi kependudukan. Pendekatan ini banyak dilakukan di dalam studi-studi kuantitatif melalui metode survei. Biasanya studi ini tidak sampai pada pertanyaan tentang mengapa terjadi ketimpangan, mengapa upah buruh rendah, dan pertanyaan lainnya yang mengarah pada konsep kesadaran kelas.

Kedua, bukan hanya sebagai kategori demografi, kelas pekerja juga bisa dipandang dari kondisi atau gaya hidupnya (life conditions). Penandanya dari standar hidup dan keanggotaan kelas seseorang, misalnya tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, tempat tinggal, keterampilan, dan kepemilikan. Bukan lagi parameter-parameter kuantitatif, melainkan pada gaya hidup atau kondisi hidup para buruh.

Untuk memudahkan dalam mengidentifikasi studi-studi yang masuk ke dalam kategori kedua ini, Nico menambahkan, biasanya judul studi menggunakan kata kunci coping strategies—“strategi”, “taktik”, “balada”, yaitu dengan melihat bagaimana kelompok sosial tertentu menghadapi persoalan ekonomi, atau bagaimana kelompok sosial tertentu menghadapi tekanan hidup di perkotaan.

Ketiga, kelas pekerja dipandang sebagai obyek eksploitasi (means of exploitation). Pandangan studi ini sebenarnya cukup populer untuk konteks Indonesia dan dekat dengan pendekatan Marxian. Dalam pandangan ini, kelas muncul akibat adanya ketimpangan struktural. Ada perbedaan akses terhadap alat produksi. Pemilik perusahaan mempunyai alat produksi sementara buruh tidak memilikinya.

Studi-studi dalam aras pandangan ketiga ini dinilai problematik karena kerap mengabaikan perhitungan tentang nilai lebih (surplus value) yang seringnya disebabkan oleh terbatasnya akses informasi tentang jumlah keuntungan perusahaan, total biaya produksi, dan sebagainya. Studi ini belum mampu menampilkan hitungan riil sebagai dasar bahwa memang ada eksploitasi terhadap buruh, yang ada eksploitasi pada tingkatan retorika dengan menunjukkan hubungan-hubungan logis saja.

Menurut Nico, tidak terlalu banyak pengetahuan baru yang dihasilkan. Semuanya bisa dipetakan ke dalam tiga aras pengetahuan besar tadi. Kendati demikian, masih ada kecenderungan atau tren lain yang bisa dilihat jika kita kembali memetakan studi-studi perburuhan. Ada sebuah ruang yang bisa menjadi ‘pintu masuk’ untuk mengatakan ada kebaharuan.

Identitas buruh tidak lagi dilihat dalam kaitannya dengan hubungan produksi. Eksistensi buruh justru bisa dilihat di dalam komunitasnya. Kondisi perburuhan industri-industri berat di Cilegon misalnya, menunjukkan kurang relevannya studi jika dikaitkan dengan entitasnya sebagai kelas pekerja. Para pekerja di sana rata-rata memiliki keterampilan, tingkat pendidikan hingga upah yang memadai. Tidak ada yang harus dipermasalahkan dengan perusahaan, bahkan ada rasa bangga terhadap tempat kerjanya.

“Mereka merasa gajinya sudah cukup baik. Ini bukan lagi soal ketimpangan di perusahaan, melainkan ketimpangan yang terjadi di masyarakatnya. Industri di Cilegon misalnya, memang belum mampu menyerap semua tenaga kerja sehingga masih banyak pengangguran dan kemiskinan. Bagaimana kemudian posisi buruh sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari masyarakat dimana dia tinggal? Ini salah satu tawaran yang bisa kita lihat,” jelas Nico [] Media Center PSKK UGM