PROYEKSI KEPENDUDUKAN PSKK UGM: Mampukah Indonesia Mencukupi Kebutuhan Pangan Penduduknya?

22 May 2014 | admin
Berita PSKK, Events, Media, Seminar, Siaran Pers

Yogyakarta, PSKK UGM – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada telah selesai melakukan perhitungan proyeksi penduduk Indonesia untuk kurun waktu 2010 sampai 2035. Proyeksi ini bukanlah ramalan jumlah penduduk pada tahun tertentu, melainkan suatu perhitungan ilmiah yang didasarkan pada asumsi komponen laju pertumbuhan penduduk seperti kelahiran (fertlitas), kematian (mortalitas), dan migrasi (mobilitas).

Mengapa PSKK UGM merasa penting untuk melakukan proyeksi penduduk Indonesia? Dari sisi praktis, hasil proyeksi ini akan menjadi alternatif selain proyeksi yang selama ini dibuat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pembangunan berwawasan kependudukan memposisikan penduduk sebagai obyek sekaligus subyek pembangunan maka sumber data lain sebagai pembanding yang independen menjadi penting untuk meminimalkan bias kepentingan.

“Alasan lainnya, proyeksi lain selain yang dibuat oleh BPS sebenarnya juga diperlukan sebagai bagian dari dasar penentuan kebijakan dan perencanaan pembangunan,” ujar Agus Joko Pitoyo, M.A., Pakar Kependudukan UGM saat Seminar Terbatas PSKK UGM “Proyeksi Penduduk dan Kebutuhan Pangan Indonesia” di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Bulaksumur, Kamis (22/5).

Joko menjelaskan, proyeksi penduduk membantu para pemangku kebijakan untuk mendapatkan gambaran tentang tantangan yang akan dihadapi di masa yang akan datang. Dengan mengetahui jumlah penduduk dalam kurun waktu 20 tahun mendatang, pemerintah bisa mulai menyiapkan berbagai macam kebutuhan, misalnya sarana kesehatan, dan pendidikan.

“Jika dikaitkan dengan kebutuhan pangan juga demikian. Pemerintah bisa mulai menyusun suatu kebijakan, bagaimana menyiapkan ketersediaan pangan bagi sekian juta penduduk. Lalu dengan adanya keterbatasan lahan, jumlah produksi yang menurun, bagaimana kebijakan yang akan disusun tersebut? Tentu kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan impor,” ujar Joko.

Dalam proyeksi penduduk yang dibuat oleh PSKK UGM, jumlah penduduk selama 25 tahun mendatang akan terus meningkat, yaitu dari 238,5 juta pada 2010 menjadi 304,9 juta pada 2035. Jumlah ini lebih banyak daripada proyeksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN), yakni 303,3 juta, dan lebih sedikit daripada proyeksi yang dilakukan oleh Bappenas, BPS, dan UNFPA, yakni 305,6 juta.

Sementara itu, pertumbuhan rata-rata per tahun penduduk Indonesia selama periode 2010-2035 akan mengalami kecenderungan yang terus menurun. Dalam periode 2010-2015 dan 2030-2035, laju pertumbuhan penduduk turun dari 1,3 persen menjadi 0,7 persen per tahun. Untuk penurunan pertumbuhan penduduk per tahun ini tidak berbeda jauh dengan hasil proyeksi yang dikeluarkan oleh UN dan Bappenas-BPS-UNFPA beberapa waktu lalu.

Selain jumlah penduduk, aspek penting lainnya yang perlu dilihat adalah rasio ketergantungan, yakni perbandingan antara penduduk produktif dengan usia nonproduktif.

“Selama periode 25 tahun ke depan, akan terjadi penambahan sekitar 50 juta angkatan kerja baru atau 2 juta angkatan kerja baru tiap tahunnya. Terkait hal itu, potensi bonus demografi Indonesia pun akan dimulai pada 2020 sampai 2030, yakni saat rasio atau beban ketergantungan berada pada posisi terendah, yakni 47,” jelas Joko.

Pada periode tersebut Indonesia berpotensi menjadi negara sejahtera (welfare state) yang gemah ripah loh jinawi. Namun, jumlah angkatan kerja produktif ini perlu diimbangi dengan kualitas dan kapasitas kerja yang tinggi pula. Salah persiapan hanya akan membuang peluang dan menjadikannya ancaman karena menjadi beban bagi pembangunan (demographic disaster).

“Di sisi lain, ada persoalan serius pula yang perlu diantisipasi, yaitu lansia. Penduduk lansia akan meningkat 100 persen dari 2010 sampai 2035, yaitu dari 4,9 persen atau 11.878.236 jiwa menjadi 10,8 persen atau 32.112.361 jiwa. Kelompok usia pasca produktif atau lansia bisa menjadi potensi sekaligus beban dalam siklus kehidupan manusia secara keseluruhan,” jelas Joko lagi.

Kebutuhan Pangan Penduduk Indonesia

Ir. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia pernah mengatakan, pangan merupakan masalah mati hidupnya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka akan terjadi malapetaka.

“Artinya, pangan adalah salah satu faktor penting setelah penduduk. Meski teknologi sudah maju, manusia bahkan sudah bisa menginjakkan kakinya di bulan, hingga saat ini belum ada satu pun teknologi yang mampu menghasilkan pangan sintetis,” ujar Dr. Jangkung Handoyo Mulyo, M.Ec., Pakar Ekonomi Pertanian UGM pada kesempatan seminar yang sama.

Sebagai warga dunia, kita menghadapi beberapa persoalan yang krusial, penduduk salah satunya. Persoalan penduduk akan terus menjadi utama karena akan menyangkut persoalan lainnya seperti pangan, energi, serta lingkungan.

“Saya rasa ini juga menjadi tantangan bagi calon presiden yang akan datang. Apakah nanti mampu menjamin kebutuhan pangan rakyatnya? Bisa tidak kebutuhan energi itu nanti tercukupi? Bisa tidak kita hidup di dalam lingkungan yang bersih dan nyaman?” ujar Jangkung lagi.

Terkait dengan proyeksi penduduk dan kebutuhan pangan Indonesia, Jangkung menggunakan beberapa data seperti proyeksi penduduk versi PSKK UGM, data produksi beras FAO, serta data konsumsi FAO dengan asumsi konsumsi pangan penduduk adalah 139 kilogram per kapita per tahun. Hasil proyeksi dalam kurun waktu 2013-2035 menunjukkan, jumlah produksi beras Indonesia masih lebih tinggi dibanding dengan laju konsumsi penduduknya.

Pada 2025—dengan proyeksi jumlah penduduk versi PSKK UGM sebanyak 282,6 juta—jumlah produksi beras diproyeksikan mencapai 52,2 ton sementara jumlah konsumsinya mencapai 39,2 ton. Sepuluh tahun berikutnya pun masih memiliki kecenderungan yang sama. Pada 2035, saat jumlah penduduk diproyeksikan mencapai 304,9 juta, maka jumlah produksi beras diproyeksikan mencapai 59,4 ton. Jumlah ini masih lebih tinggi dibanding jumlah konsumsinya yang diproyeksikan mencapi 42,3 ton.

“Jika berdasar pada data-data resmi yang ada, maka proyeksi yang disusun ini cukup optimis. Data penduduknya kita gunakan data dari PSKK UGM untuk kemudian melihat produksi beras domestik. Ternyata memang masih lebih tinggi dengan laju konsumsinya,” jelas Jangkung.

Meski demikian, menurut Jangkung lagi, jumlah konsumsi beras tidak semata-mata dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Ada beberapa faktor lainnya yang perlu dipertimbangkan seperti harga beras, harga barang substitusi atau pengganti beras, harga barang komplementer (makanan pendamping beras seperti sayuran dan lauk-pauk), dan pendapatan per kapita.

“Saat ini kita bisa lihat terjadi kenaikan pendapatan per kapita rata-rata penduduk Indonesia. Saat pendapatan meningkat maka permintaan beras pun meningkat. Peningkatan permintaan beras pada akhirnya bukan hanya disebabkan meningkatnya jumlah penduduk tetapi juga semakin tebalnya dompet penduduk,” [] Media Center PSKK UGM