
YOGYAKARTA – Tepat 24 Desember lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengendalian tembakau. Hingga saat ini, peraturan tersebut masih mendapat beragam respon baik pro maupun kontra. Bagi mereka yang pro, konsumsi rokok dinilai cukup mengganggu. Asap rokok berbahaya bagi kesehatan. Sangat disayangkan jika itu berdampak pada perokok pasif yang dominan adalah perempuan dan anak-anak. Sementara bagi mereka yang kontra, isu tembakau tidak bisa dilihat dari aspek kesehatan semata. Ada aspek yang lebih luas seperti sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang perlu dipahami.
Topik tersebut menjadi bahasan saat peneliti senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK), Prof. Muhadjir Darwin, MA mengisi diskusi di MAP Corner, klub diskusi mingguan Magister Administrasi Publik UGM, selasa (08/01) kemarin. Seri diskusi bertema “Industri Rokok: Perspektif Ekonomi Politik” juga menghadirkan Gugun El Guyanie dari Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH PWNU DIY).

Muhadjir mengatakan kita tidak bisa menyederhanakan soal regulasi, bahwa aturan ini akan merugikan kepentingan ekonomi rakyat banyak, dan sebagainya. Sebenarnya tergantung pada bagaimana regulasi tersebut akan dijalankan. “Regulasi menurut saya itu perlu karena konsumsi rokok memang harus lebih selektif. Mereka yang menerima akibat negatif adalah yang tidak merokok. Jadi jangan sampai kena ke orang yang tidak merokok.”
Muhadjir juga memaparkan perihal tingkat konsumsi tembakau di Asia Tenggara yang cenderung meningkat. Ini bisa dipandang sebagai determinan positif maupun negatif. Namun, dari sisi kesehatan tentu saja kecenderungan ini merupakan determinan negatif. Data dari organisasi kesehatan dunia, WHO menunjukkan angka kematian akibat tembakau memang cukup banyak. Tak heran, WHO juga banyak mengkampanyekan anti rokok.
Salah satu isu yang juga didesak oleh aktivis anti rokok adalah perihal cukai rokok. Pemerintah didesak untuk menaikkan cukai rokok. Ini tentu saja ditentang oleh industrialis atau para pelaku bisnis rokok. Padahal angka cukai rokok di Indonesia, kata Muhadjir, termasuk sangat rendah jika dibanding dengan negara-negara lain di Asia. Angka di Indonesia hanya 37 persen. Sedikit lebih tinggi dibanding Kamboja namun jelas lebih rendah dibanding China, Vietnam, Filipina, Jepang, Malaysia, Thailand, dan lainnya.
“Bagi mereka yang pro tembakau, pro terhadap industri rokok, bahkan konsumen rokok tentu tidak menyarankan kenaikan cukai karena berimplikasi pada harga. Sementara bagi mereka yang anti rokok menganggap dengan adanya kenaikan harga akan menurunkan tingkat konsumsi rokok. Konsumsi menurun, orang akan lebih terlindungi dari bahaya rokok. Tapi ini merupakan satu poin bahwa Indonesia lemah di dalam regulasi. Cukai yang dibebankan kepada pabrik-pabrik itu termasuk yang paling rendah,” ujar Muhadjir.
Sementara itu, Gugun menilai ada agenda yang menginfiltrasi dengan halus agar gerakan anti rokok bisa masuk ke dalam berbagai instrumen peraturan. Targetnya, melarang dan membunuh industri rokok nasional. Ada kepentingan asing yang mempengaruhi politik legilasi di negara ini.
“Di lain sisi, sangat tidak adil pula jika perspektif kesehatan semata-mata digunakan untuk mengatur regulasi soal tembakau, rokok, dan kretek. Sebuah undang-undang, regulasi, dan proses legislasi harus mempunyai naskah akademik yang harus melalui riset-riset komprehensif, holistik, multi perspektif atau dari berbagai sudut pandang,” ujar Gugun.
