Yogyakarta, PSKK UGM – Hasil survei yang dilakukan oleh Transparancy International, yakni Corruption Perception Index (CPI) 2013 menunjukkan, Indonesia menempati ranking 114 dari 177 negara dan teritori yang disurvei. Peringkat ini tentu sangat jauh tertinggal jika dibanding dengan negara-negara lainnya di wilayah Asia Tenggara. Malaysia berada di ranking 53, Brunei Darussalam di ranking 38, sementara Singapore jauh berada di ranking 5.
Meski terlambat, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. “Maksudnya ingin mengangkat citra bangsa ini dalam percaturan politik internasional. Namun pada kenyataannya, bagaimana sebenarnya citra politik kita di mata negara lain? Jumlah angka korupsi justru semakin ‘brutal’. Bahkan Abraham Samad, Ketua KPK mengatakan, korupsi di Indonesia sedang berevolusi, mencari bentuk-bentuk baru,” ujar Mohammad Nuh, Ph.D. (cand), Pakar Bidang Reformasi Publik dan Pemerintahan. Universitas Brawijaya dalam Seminar Bulanan “Antikorupsi dan Tantangan Governance di Asia Tenggara: Menuju Agenda ASEAN Political-Security Community 2015” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Kamis (12/12).
Nuh menambahkan, secara umum hasil survei Transparancy International memperlihatkan, sebagian besar negara-negara anggota ASEAN termasuk Indonesia berada di peringkat di atas level 100. Tak heran memang karena realitasnya masih banyak kasus-kasus korupsi yang terjadi di negara-negara ASEAN. Praktek korupsi terjadi di setiap level pemerintahan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Bahkan terjadi pula di sektor swasta. Bukannya menurun, praktek korupsi justru cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Padahal, berbagai bentuk kebijakan dan program anti korupsi sudah dilakukan oleh masing-masing negara.
Situasi ini lalu memunculkan pesimisme. Ada keraguan, apakah strategi yang telah dirumuskan ASEAN seperti “Bali Concord II” dan SEA-PAC mampu secara efektif menurunkan angka kasus-kasus korupsi. Nuh mengatakan, mewujudkan kawasan ASEAN bebas dari korupsi serta terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik di semua negara-negara anggota tentu menjadi dambaan serta harapan untuk segera terealisasi. Maka, catatan pentingnya adalah diperlukan kerjasama serta komitmen bersama setiap negara-negara anggota ASEAN.“Meski demikian, kita tidak bisa pungkiri pula bahwa ada persaingan di antara negara-negara anggota ASEAN untuk memenangkan pasar global. Masing-masing negara sedang bersiap untuk menghadapi pasar bebas di Asia Tenggara atau ASEAN Community 2015. Jika tidak siap, negara tersebut hanya akan menjadi pasar buruh atau pasar konsumsi. Disparitas kesejahteraan di kawasan Asia Tenggara pun bisa terjadi. Ini sedikit banyak menjadi hambatan tersendiri untuk membangun gerakan bersama itu tadi. ” ujarnya.
Agar tidak terjadi ketimpangan yang besar di antara negara-negara anggota dalam mencapai pembangunan, Nuh kembali menekankan, peran ASEAN sebagai wadah menjadi sangat penting. ASEAN sebagai organisasi kerjasama di Asia Tenggara berada di posisi strategis untuk menjamin terciptanya kerjasama regional yang bersifat bilateral maupun multilateral dalam pemberantasan korupsi dan memajukan good governance. Dengan kata lain, perlu tindakan konkrit untuk mewujudkan dua pilar APSC (ASEAN Political-Security Community) 2015, yakni Combating Corruption serta Promote Good Governance tersebut. [] Media Center PSKK UGM
*Sumber foto: www.transparancy.org