Pengelolaan RTH Kota Yogyakarta Kembali Dievaluasi

29 June 2015 | admin
Events, Media, Training

Yogyakarta, PSKK UGM — Proporsi ruang terbuka hijau (RTH) di wilayah perkotaan paling sedikit 30 persen dari luas kota secara keseluruhan. Klausul ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sebagai salah satu sarana lingkungan, RTH berperan penting untuk meningkatkan kualitas udara, menunjang kelestarian air dan tanah, serta fungsi penting lainnya. Lalu bagaimana keberadaan RTH di Kota Yogyakarta? Apakah sudah proporsional?

Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Drs. Pande Made Kutanegara, M.Si. mengatakan, seperti kota-kota besar lainnya, Kota Yogyakarta pun menghadapi persoalan yang sama tentang daya dukung wilayah (carrying capacity). Seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk, Kota Yogyakarta menghadapi pesatnya pembangunan fasilitas fisik dan sosial. Tak ayal, daya dukung wilayah khususnya daya dukung lingkungan mengalami degradasi.

“Ada tekanan yang cukup tinggi terhadap pemanfaatan ruang kota, misalnya untuk pembangunan berbagai fasilitas seperti perumahan, hotel, pusat perbelanjaan, dan beragam fasilitas lainnya. Ini berdampak pada berkurangnya ruang-ruang terbuka atau open space yang berupa RTH maupun ruang terbuka non hijau,” kata Made.

Luas wilayah Kota Yogyakarta adalah 3.250 hektar atau 1.02 persen dari luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Kota Yogyakarta Tahun 2014, penggunaan lahan memang didominasi oleh lahan non pertanian, yakni seluas 2.755,27 hektar untuk perumahan maupun industri atau jasa. Sedangkan luas lahan untuk sawah terus berkurang hingga 18 hektar, yakni dari 83 hektar pada 2013 menjadi 65 hektar pada 2014.

Berbeda halnya dengan luas wilayah untuk RTH yang sedikit demi sedikit mengalami peningkatan. Setiap kecamatan di Kota Yogyakarta memiliki lahan yang difungsikan untuk RTH baik yang dibangun oleh pemerintah (RTH publik) maupun yang penyediaan serta pengelolaannya menjadi tanggung jawab swasta dan masyarakat (RTH privat). RTH publik paling luas berada di Kecamatan Gondomanan, yakni 141,53 hektar. Sementara RTH privat paling luas berada di Kecamatan Umbulharjo, yakni 197,77 hektar.

Adapun total luas RTH publik di Kota Yogyakarta pada 2014 mencapai 628,98 hektar dan untuk RTH privat mencapai 561,65 hektar. Khusus untuk RTH publik mengalami peningkatan cukup baik setelah pada 2010 luas lahannya hanya 557,90 atau 17,17 persen dari luas wilayah Kota Yogyakarta.

Menurut Made, Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki komitmen terhadap permasalahan ruang terbuka hijau. Program-program yang menunjang terciptanya RTH publik dan privat menjadi prioritas dalam pembangunan wilayah Kota Yogyakarta. Beberapa regulasi yang progresif juga pernah dikeluarkan seperti Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Privat. Namun begitu, areal RTH tetap perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya guna mendorong keasrian dan kenyamanan Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan kota wisata.

Berkaitan dengan pengelolaan RTH yang diselenggarakan oleh Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta tersebut, pada tahun ini PSKK UGM kembali melakukan Studi Pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) Utilitas.

“Hasil atau pemanfaatan indeks menjadi cermin untuk menilai bagaimana kinerja dari pelayanan publik yang dilakukan oleh instansi atau SKPD yang terkait. Masyarakat pengguna layanan akan memberi penilaian, apakah mereka puas atau tidak puas,” kata Triyastuti Setianingrum, M.Sc., selaku peneliti kegiatan ini saat pelatihan asisten lapangan di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Selasa (16/6) lalu.

Studi pengukuran IKM terhadap RTH pernah dilakukan sebelumnya, yakni pada 2011 dan 2013. Studi yang dilakukan pada 2011 dan 2013 tersebut berbasis kawasan dimana para asisten lapangan khususnya enumerator diminta untuk melihat berapa ruas jalan yang memiliki pohon perindang dan taman. Kini 2015, studi dilakukan berdasarkan wilayah atau per kecamatan karena RTH memang diharapkan ada di setiap wilayah tersebut.

Selama ini menurut Triyas, banyak orang yang mengeluhkan tentang maraknya pembangunan hotel daripada sarana penunjang publik lainnya. Proporsi bagi RTH dinilai masih minim. “Melalui studi pengukuran indeks ini akan ketahuan dimana kekurangannya. Ini juga menjadi penilaian apakah layanan pemerintah khususnya dalam pengelolaan RTH sudah baik atau masih buruk.”

Selain tentang RTH, ada beberapa unit layanan lainnya yang juga akan diukur, yakni pengelolaan sampah pada tempat penampungan sampah sementara (TPSS) yang diselenggarakan oleh BLH, pengelolaan pasar yang diselenggarakan oleh Dinas Pengelolaan Pasar, pengelolaan perparkiran yang diselenggarakan oleh Dinas Perhubungan, serta pengelolaan ketertiban, kebersihan, keamanan, dan parkir di Malioboro yang diselenggarakan oleh UPT Malioboro.

“Indeks ini juga penting untuk memudahkan kita untuk membandingkan kualitas layanan antarinstansi pemerintah dan antarwaktu sehingga idealnya pengukuran indeks dilakukan secara rutin. Adapun hasil studi akan menjadi bahan Pemkot Yogyakarta untuk mengevaluasi kinerja sekaligus rekomendasi untuk kebijakan lebih lanjut,” kata Triyas lagi. [] Media Center PSKK UGM