Mengkaji Program Perlindungan Sosial bagi ODHA

18 September 2013 | admin
Events, Media, Training

Yogyakarta, PSKK UGM – Untuk bisa melakukan wawancara dengan kelompok-kelompok tertentu seperti ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) tidaklah mudah. Hampir sebagian besar dari mereka sensitif serta tertutup. Hal itu disampaikan oleh Sri Purwatiningsih, S.Si., M.Kes., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM sepulang mengisi pelatihan enumerator atau pewawancara di Surabaya, dan Malang, Jawa Timur beberapa waktu lalu.

Selain di kedua kota tersebut, pelatihan enumerator juga dilakukan di Bali. Pelatihan yang berlangsung selama dua hari mulai 3 sampai 4 September tersebut dilakukan dalam rangka penelitian PSKK UGM berjudul “Akses dan Dampak Program Perlindungan Sosial terhadap Pekerja Sektor Formal dan Informal yang Hidup dengan HIV”. Penelitian dikoordinasikan oleh Peneliti Senior PSKK UGM, Dr. Dewi H. Susilastuti, M.Sc., dan merupakan bentuk kerjasama penelitian dengan International Labour Organization (ILO) Indonesia.

Sesuai kesepakatan dengan ILO Indonesia, PSKK UGM lalu menggandeng beberapa komunitas atau Kelompok Dampingan Sebaya (KDS) untuk bisa masuk dan melakukan wawancara dengan kalangan ODHA. “Masing-masing wilayah dipilih komunitas yang sudah kerap bekerja sama dengan ILO Indonesia, antara lain Spiritia di Bali, Mahameru di Surabaya, serta Positive Hope di Malang. Untuk responden, kita menargetkan 100 orang di masing-masing wilayah sehingga total ada 300 responden,” ujar Purwatiningsih.

Asuransi kesehatan merupakan program perlindungan sosial wajib. Bagi pegawai negeri maupun angkatan bersenjata, jaminan kesehatannya telah dijamin oleh pemerintah dan dikelola oleh lembaga seperti PT. Askes, dan Angkatan Bersenjata Puskesmas. Bagi pekerja sektor swasta formal dijamin oleh pemberi kerja atau perusahaan yang bersangkutan. Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau Jamsostek merupakan kewajiban bagi sebuah perusahaan swasta. Sementara perlindungan sosial pemerintah untuk pekerja informal diberikan di bawah Jaring Keselamatan Sosial  SSN (Social Safety Net) melalui berbagai macam program Jaring Pengaman Sosial (JPS).

Lalu, bagaimana dengan perlindungan sosial bagi pekerja baik di sektor formal maupun informal yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHA)? Isu HIV dan AIDS di Indonesia merupakan persoalan yang serius. Jumlah kasus HIV dan AIDS dari tahun 2005 sampai 2012 meningkat lebih dari 600 persen, yakni dari 3.021 kasus menjadi 18.913 kasus. Secara medis, ODHA sangat rentan terhadap berbagai macam penyakit sehingga kebutuhan perlindungan sosial sangatlah penting. Namun, beberapa penelitian ILO Indonesia menunjukkan, sistem penyediaan perlindungan sosial yang ada masih meminggirkan isu-isu HIV dan AIDS.

Terkait isu tersebut, sangat penting untuk melakukan penelitian yang mampu memberikan umpan balik dalam rangka perbaikan sistem program perlindungan sosial. Purwatiningsih menjelaskan, penelitian ini akan mengkaji akses serta pengaruh kebijakan dan program perlindungan sosial terutama program perlindungan kesehatan sosial. “Melalu kuesioner yang telah disusun oleh PSKK UGM dan ILO Indonesia, kita akan coba menangkap isu tentang karakteristik demografi, stigma dan diskriminasi, perlindungan sosial, akses pelayanan kesehatan, serta perawatan khusus.”

Penelitian kuantitatif dengan kuesioner ini akan melibatkan responden ODHA yang berasal dari kalangan heteroseksual (seperti ibu rumah tangga, pekerja seks komersial, pengguna jasa PSK), transgender, MSM (man having sex with man), serta IDU’s (Injecting Drug User’s) atau pengguna narkotik suntik. Selain metode kuesioner, juga akan dilakukan studi kualitatif, yakni dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dengan beberapa ODHA terpilih, instansi pembuat kebijakan dan pemberi layanan (Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Komisi Penanggulangan AIDS, PT. Askes, PT. Taspen, PT. Jamsostek, serikat pekerja, dan lain-lain), serta diskusi kelompok terarah atau FGD dengan beberapa ODHA terpilih. [] Media Center PSKK UGM