[Media Archive] HASIL STUDI BANK DUNIA TERBARU: Ketimpangan Pendapatan Masih Tinggi

15 April 2016 | admin
Berita PSKK, Events, Media, Media, Seminar

Yogyakarta, Harian Neraca – Ekonom Bank Dunia menilai kesenjangan tingkat pendapatan masyarakat di Indonesia jauh lebih tinggi melampaui perkiraan masyarakat. Sementara hasil studi lembaga keuangan internasional itu mengungkapkan ada empat penyebab terjadinya ketimpangan di negeri ini.

“Masyarakat Indonesia merasa kesenjangan atau ketimpangan sudah terlalu tinggi, padahal kenyataannya ketimpangan yang terjadi justru lebih tinggi dari yang mereka perkirakan,” ujar Ririn Salwa Purnamasari, Ekonomi Bank Dunia dalam seminar “Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia: Perspektif Kerakyatan” di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sabtu (9/4).

Hal itu disampaikan dengan merujuk hasil survei persepsi ketimpangan yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2014 terhadap 3.000 sampel penduduk Indonesia. Dalam hasil survei itu tingkat ketimpangan yang diperkirakan responden mencapai 38,5 persen, padahal dalam kondisi sebenarnya tingkat ketimpangan telah mencapai 49 persen penduduk Indonesia.

“Sementara tingkat ketimpangan menurut responden seharusnya hanya 28 persen,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Neraca, Minggu (10/4).

Ririn mengatakan, penanganan ketimpangan nasional perlu menjadi agenda prioritas pemerintah saat ini. Peningkatan ketimpangan yang dinilainya melaju cukup cepat dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial.

Menurut dia, meski dari sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah cukup baik dan tingkat kemiskinan melambat, namun laju peningkatan ketimpangan (koefisien gini) masyarakat Indonesia relatif tinggi mencapai 10 poin setiap tahun.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Anwar Sanusi optimistis melalui dana desa yang tahun ini dialokasikan Rp 60 triliun mampu mengentaskan kemiskinan hingga di pelosok daerah.

“Dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur usaha padat karya,” ujarnya.

Sementara Deputi Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Rahma Iryanti mengatakan, untuk memutuskan siklus ketimpangan, pemerintah telah menetapkan strategi pembangunan nasional di antaranya memperkuat sektor usaha mikro, dan kredit usaha rakyat (KUR) yang pada 2016 akan disalurkan Rp 100 triliun disertai subsidi bunga pinjaman yang dialokasikan mencapai Rp 10,5 triliun. “Tinggal jangan sampai bank penyalur KUR hanya menyasar pelaku usaha yang sudah dianggap bankable saja. Untuk hal itu, kami akan lakukan intervensi langsung,” tutur dia.

Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Agus Heruanto Hadna menilai perlu ada perubahan cara pandang pemerintah dalam merumuskan parameter kemiskinan. Untuk menentukan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang efektif, maka definsi dan parameter kemiskinan yang tepat, menurut dia, sangat dibutuhkan.

Agus mengatakan, penghitungan kemiskinan secara moneter yang selama ini digunakan oleh pemerintah pada kenyataannya belum cukup menggambarkan kondisi riil kemiskinan di tingkat daerah. “Ada permasalahan serta parameter kemiskinan yang selama ini terlalu mengandalkan data moneter. Padahal, harus dilihat secara komprehensif dan beragam,” ujarnya.

Terjadinya ketimpangan di Indonesia, menurut dia, antara lain karena belum adanya pemerataan dalam hasil pembangunan nasional. Sesuai data Bank Dunia, 50 persen pendapatan negara masih dinikmati oleh penduduk terkaya, sisanya dibagi rata. Seperti pada 2002, konsumsi dari 10 persen penduduk terkaya di Indonesia sama banyaknya dengan total konsumsi dari 42 persen penduduk termiskin. Selanjutnya, pada 2014 konsumsi dari 10 persen penduduk terkaya setara dengan total konsumsi dari 54 persen penduduk termiskin.

Tingkat ketimpangan di Indonesia, menurut Bank Dunia, relatif tinggi dan naik lebih pesat dibanding banyak negara Asia Timur lain. Sejak 2003 hingga 2010, bagian 10 persen terkaya di Indonesia menambah konsumsi mereka sebesar 6 persen per tahun, setelah disesuaikan dengan inflasi. Bagi 40 persen masyarakat termiskin, tingkat konsumsi mereka tumbuh kurang dari 2 persen per tahun.

Hal ini mengakibatkan koefisien Gini naik pesat dalam 15 tahun terakhir, naik dari 0,30 pada tahun 2000 menjadi 0,41 pada 2013. Artinya, bila tidak ada tindakan konkret mengatasinya, konsekuensi bagi Indonesia bisa mengecam. Pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan dapat melambat, disertai naiknya risiko konflik.

Namun, lebih dari 61 persen responden mengatakan bahwa mereka dapat menerima pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah asalkan ketimpangan juga berkurang.

Empat Penyebab Ketimpangan

Dalam rencana pembangunan jangka menengah, pemerintah telah menetapkan sasaran untuk menurunkan tingkat koefisien Gini dari 0,41 menjai 0,36 pada tahun 2019. Agar berhasil mencapai sasaran tersebut, menurut Bank Dunia, Indonesia perlu mengatasi empat penyebab ketimpangan, antara lain ketimpangan peluang. Nasib anak dari keluarga miskin terpengaruh oleh beberapa hal utama, yaitu tempat mereka lahir atau pendidikan orang tua mereka. Awal yang tidak adil dapat menentukan kurangnya peluang bagi mereka selanjutnya. Setidaknya sepertiga ketimpangan diakibatkan faktor-faktor di luar kendali seseorang individu.

Ketimpangan pasar kerja. Pekerja dengan ketrampilan tinggi menerima gaji yang lebih besar, dan tenaga kerja lainnya hampir tidak memiliki peluang untuk mengembangkan keterampilan mereka. Mereka terperangkap dalam pekerjaan informal dengan produktivitas rendah dan pemasukan yang kecil.

Konsentrasi kekayaan. Kaum elit memiliki aset keuangan, seperti properti atau saham yang ikut mendorong ketimpangan saat ini dan di masa depan.

Ketimpangan dalam menghadapi guncangan. Saat terjadi guncangan, masyarakat miskin dan rentan akan lebih terkena dampak, menurunkan kemampuan mereka untuk memperoleh pemasukan dan melakukan insvestasi kesehatan dan pendidikan.

Menurut Bank Dunia, ketimpangan yang semakin tinggi dapat dihindari. Kebijakan pemerintah dapat membantu Indonesia memutus rantai ketimpangan antargenerasi dengan mengatasi penyebab ketimpangan.

Contohnya, koefisien Gini di Brazil turun 14 poin setelah upaya bersama untuk menurunkan ketimpangan melalui kebijakan fiskal. Sebaliknya, menurut data tahun 2012, kebijakan fiskal Indonesia hanya menurunkan koefisien Gini sebesar 3 angka.

Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu cepat memperbaiki layanan umum. Kunci bagi generasi berikut terletak pada peningkatan pelayanan umum di tingkat desa, camat, dan kabupaten karena hal ini dapat memperbaiki kesehatan, pendidikan, dan peluang keluarga berencana bagi semua masyarakat.

Kemudian memperkuat program perlindungan sosial, seperti bantuan tunai bersyarat dan beasiswa pendidikan, menambah peluang pelatihan keterampilan bagi tenaga kerja dan menyediakan lapangan kerja yang lebih baik. [] hari/mohar/ibn

*Sumber: Harian Neraca, 11 April 2016 | Photo/doc.PSKK UGM