Chemical Youth: Penggunaan Somadril Oleh Pekerja Seks

04 October 2012 | admin
Berita PSKK, Events, Media, Media, Seminar

Yogyakarta, PSKK UGM – “Temuan-temuan penelitian kami menunjukkan, selain obat-obatan ternyata ada banyak sekali zat-zat kimia yang dikonsumsi oleh remaja. Ini tidak hanya melibatkan para pengguna tetapi juga penjual, dokter, produsen hingga bagaimana penggunaannya, dalam kaitan dengan Badan POM maupun Departemen Kesehatan.”

Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Nurul Ilmi Idrus, Ph.D Guru Besar Antropologi, Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan dalam agenda seminar bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, kamis (04/10) beberapa pekan lalu. Dia menyampaikan hasil penelitian terbarunya yang berjudul “Chemical Youth, Comparative Case-Studies Indonesia”. Penelitian dilakukan di tiga lokasi, yakni Kabupaten Bulukumba, dan Kota Makassar di Sulawesi Selatan, serta Yogyakarta. Selain itu, melibatkan sembilan kelompok di antaranya para pekerja seks dan waria untuk diteliti.

Untuk wilayah Bulukumba dan Makassar, Nurul melihat ada banyak zat-zat kimia yang digunakan oleh para remaja khususnya para pekerja seks di Sulawesi Selatan. Namun, somadril merupakan salah satu jenis obat favorit. Obat ini paling banyak dikonsumsi.

“Meski demikian, pola penggunaan somadril antara di Makassar dan di Bira, Bulukumba ada perbedaan. Para pekerja seks yang freelance di sekitar Pantai Losari menggunakan somadril kapan saja agar percaya diri, senang, serta mendapatkan efek mabuk. Sementara pekerja seks di Pantai Bira, Bulukumba, karena mereka adalah pelayan di tempat-tempat karaoke, menggunakan somadril saat menemani tamu minum serta saat berhubungan seks,” ujar perempuan yang banyak berkecimpung di dunia gender dan seksualitas ini.

Somadril sebenarnya merupakan obat anti nyeri dan masuk dalam golongan obat keras. Melalui resep dokter, somadril digunakan oleh para orang tua yang menderita rematik. Di Amerika, obat ini dikenal dengan nama meprobamat namun pada tahun 60-an, sudah dilarang untuk dikonsumsi. Sama halnya di Eropa, obat sejenis somadril telah dilarang karena menimbulkan adiksi atau kecanduan.

Nurul mengatakan, pertanyaan yang hingga kini belum bisa terjawab adalah soal sumber informasi. Bagaimana awal mula para pekerja seks mengetahui somadril dapat memberikan efek mabuk jika dikonsumsi. Obat yang sebelumnya tidak familiar untuk dikonsumsi, kini kerap dikonsumsi oleh mereka. Untuk sementara, jawaban yang didapatkan adalah semua didapat dari hasil bereksperimen, rasa ingin tahu untuk mencoba-coba.

Somadril tergolong berbahaya karena sifat adiktifnya. Jika tidak dikonsumsi, pengguna akan mengalami beragam efek seperti sulit tidur atau insomnia, mual, gelisah. Namun, jika dikonsumsi berlebihan akan menimbulkan halusinasi, otot melemah, gangguan fungsi saraf, tidak dapat mengendalikan diri bahkan kematian.

“Lebih mengejutkan lagi dari temuan ini adalah setiap efek diatasi dengan mengkonsumsi obat lain. Jika mengkonsumsi somadril menimbulkan rasa sakit di kepala maka dia akan meminum obat sakit kepala. Begitu seterusnya sehingga ada cycling atau perputaran yang muncul dalam kaitan dengan penggunaan zat-zat kimia,” ujarnya lagi.

Penggunaan somadril oleh para pekerja seks di Pantai Bira maupun Pantai Losari bervariasi antara 7 sampai 30 pil setiap hari. Di Makassar satu strip somadril seharga Rp. 35 ribu hingga Rp. 40 ribu. Jika di Bira, Bulukumba tentu harganya semakin mahal karena jarak yang relatif jauh dengan pusat kota sehingga membutuhkan penyalur untuk membawanya.

“Nah, ironis jika melihat sisi ekonomi. Awalnya mereka menggunakan somadril agar percaya diri saat bekerja melayani tamu. Namun, pada tahap selanjutnya mereka justru bekerja untuk mendapatkan somadril. Ini karena efek adiktif yang ditimbulkan sehingga harus dikonsumsi setiap hari. Hampir sebagian besar pendapatan pada akhirnnya digunakan untuk membeli obat.” [] Media Center PSKK UGM