Yogyakarta, CPPS UGM – Center for Population and Policy Studies (CPPS) UGM held a monthly seminar “Melawan dengan Gembira: Humor dalam Komunikasi Politik Kebangsaan (Fighting with Joy: A Humor in National Political Communication)” on Monday (21/10/2019) at Auditorium Prof.
Yogyakarta, PSKK UGM – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM mengadakan seminar bulanan bertajuk Melawan dengan Gembira: Humor dalam Komunikasi Politik Kebangsaan pada Senin (21/10/2019).
Yogyakarta, PSKK UGM – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada telah menyelenggarakan seminar internal pada tanggal 17 September 2019 yang berjudul “Decision making and behaviours for sustainable spatial development process” dengan pembicara Datuk Ary A. Samsura yang merupakan pengajar dari Radboud University, Belanda.
Perencanaan tata kota saat ini menghadapi banyak persoalan. Pertama, proses pengkotakan, seperti urbanisasi. Dahulu kita menganggap Indonesia adalah negara agraris. Namun, saat ini sejak tahun 2015, lebih dari 51% penduduk Indonesia tinggal di kota. Bahkan, angka penduduk yang tinggal di daeraah perkotaan mencapai 56%. Proses pengkotakan (urbanisasi) ini tidak hanya dimaknai sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota, tetapi juga dimaknai sebagai pergeseran ciri-ciri fisik desa. Kedua, terjadi disparitas kelas sosial dan ekonomi yang semakin tajam. Ketiga, saat ini social movement menjadi lebih tinggi seiring dengan peningkatan penggunaan media sosial sebagai sumber informasi. Ketiga hal ini tidak hanya memengaruhi adanya pergeseran aktivitas manusia, tetapi juga morfologi kota. Ruang publik yang tadinya tertutup menjadi semakin terbuka.
Tantangan-tantangan tersebut berimplikasi kepada kompleksitas dinamika kota yang menjadi tinggi karena semakin banyak pemangku kepentingan dan juga preferensi masing-masing pemangku kepentingan yang semakin beragam. Menurut Datuk Ary, tidak hanya dari segi kuantitas dan juga preferensi masing-masing pemangku kepentingan yang meningkat, tetapi juga meningkatnya hubungan saling ketergantungan antara masing-masing pemangku kepentingan. Datuk Ary mencontohkan, ketika seseorang ingin menyampaikan opini, opini itu akan menjadi sebuah discourse (perbincangan public) jika opini tersebut diterima oleh masyarakat banyak.
Karena kompleksitas dinamika kota yang semakin tajam dan tinggi, serta banyak tantangan yang bermunculan dalam proses perencanaan pembangunan tata kota, maka terjadi perubahan paradigma terkait perencanaan ruang. Dahulu perencanaan dianggap sebagai perencanaan yang sifatnya rasional. Para akademisi yang mempelajari ilmu spatial planning dididik menjadi ahli yang dapat mengatasi permasalahan kota dengan segala pemikiran rasional mereka. Sehinggga, mereka membuat aturan yang detail tentang bagaimana harus membangun sebuah kota se-efisien mungkin. Perencanaan akhirnya menjadi sebuah kontrol dan upaya intervensi untuk mengubah ruang.
Sementara, saat ini tidak mungkin para ahli perencana spatial planning atau perencana tata kota mampu mengetahui apa yang paling rasional dan baik di masa depan. Hal ini karena apa yang kita inginkan di masa depan itu sifatnya subyektif. Terlebih, rasional setiap individu berbeda-beda.
Datuk Ary menekankan, preferensi setiap individu itu tidak ada ukurannya. Akhirnya, yang dapat dilakukan oleh para ahli spatial planning atau perencana tata kota adalah bagaimana mereka bisa mengakomodasi berbagai macam keinginan masyarakat. Para perencana tata kota dididik tidak menjadi ahli, melainkan fasilitator yang mengakomodasi berbagai macam keinginan dan preferensi masing-masing individu yang berbeda-beda, sehingga dirumuskan sebuah keputusan bersama.
Hasil keputusan bersama ini nantinya tidak hanya bisa menjadi sesuatu yang dapat menyenangkan banyak pihak, tetapi juga dapat memunculkan adanya “tragedy of the common”. Tragedy of the common dimaknai sebagai hubungan saling kebergantungan antarpara aktor di dalam proses pengambilan keputusan yang menyebabkan para pengambil keputusan ini merugi. Namun, hal ini dapat dihindari dengan ketersediaan sumber informasi yang memadai.
Yogyakarta, CPPS UGM – Center for Population and Policy Studies (CPPS) Universitas Gadjah Mada held an internal seminar on September 17, 2019 with the theme “Decision Making and Behaviors for Sustainable Spatial Development Process” delivered by Datuk Ary A. Samsura, a lecturer in Radboud University, Netherlands.
Urban planning is currently facing many problems. First, the compartmentalization process becomes the crucial one, such as urbanization. We initially thought that Indonesia is an agricultural country. However, more than 51% of Indonesia population lives in cities from 2015 to date. Even, the number of people living in urban areas reaches 56% today. The urbanization process is not only meant as a movement of people from rural to urban areas, but is also interpreted as a shift in the physical characteristics of villages. Second, there is an increasingly sharp social and economic class disparity. Third, the current social movement is higher by the increasing use of social media as a source of information. These three issues do not only affect the shift in human activities, but also the morphology of the city. Public spaces become more open that the initial conditions (closed).
These challenges have implications for the complexity of the dynamics of the city which become higher because of the increase in the number of stakeholders and diverse preferences of each stakeholder. According to Datuk Ary, it cannot only be seen from the increase in quantity and preferences of each stakeholder, but also the increase in relationship of interdependence among them. He pointed out one example, “When someone wants to express his opinion, it will then become a discourse (public discussion) if the opinion is accepted by the public.”
Regarding the increasingly sharp and high complexity of the dynamics of the city and many challenges in the planning process of urban establishment, there has been a paradigm shift related to spatial planning. The planning was initially considered rational. The academicians, who study spatial planning, are trained to be the experts who can overcome the problems with all their rational thinking. Therefore, they would make detailed rules on how to establish a city as efficiently as possible. Eventual planning becomes a control and intervention effort to change a space.
Meanwhile, it is now impossible for spatial planning experts or urban planning planners to be able to know what is most rational and good in the future. This is because what we want in the future is subjective in nature. Moreover, the rationality of an individual varies from one to another. Datuk Ary emphasizes that each individual’s preferences have no certain indicator. Finally, what can be done by spatial planning experts or urban planning planners is how they accommodate any kinds of community eagerness. They are educated not to be the experts, but the facilitators who accommodate any kinds of the eagerness and preferences of different individual, and thus a joint decision is formulated.
The results of this joint decision can later turn into something to please many parties and lead to a “tragedy of the common”. It is regarded as the interdependence relationship among actors in decision making process which lead to the loss of the decision makers. However, this can be avoided by the availability of the sources of adequate information.
On Monday (19/08/2019), Regional Manpower Planning Workshop of Yogyakarta was held in Fiscal Year 2019. The workshop was issued by Cooperative, SME, Manpower and Transmigration Office of Yogyakarta at Auditorium Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA, CPPS UGM.
One of the speakers is the Director of CPPS UGM, Dr. Agus Joko Pitoyo, M.A. One of the important points discussed in the workshop is that the success of national development in manpower will be achieved if all the key stakeholders collaborate to make an adaptive ecosystem for human resource development.
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) bekerja sama dengan Satpol PP Kota Yogyakarta telah melaksanakan Kajian Perilaku Pelanggar Perda dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.
Yogyakarta, PSKK UGM – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan bangga menyelenggarakan Konferensi Internasional terkait Kependudukan dan Kebijakan Sosial di tengah Kekacauan Dunia serta rangkaian kegiatan Summer Course bertema Migrasi Tenaga Kerja Internasional dalam Pergeseran Dunia: Perspektif Baru dan Tantangan Kebijakan.
.Yogyakarta, CPPS UGM – Center for Population and Policy Studies (CPPS) UGM held an international conference on Kependudukan dan Kebijakan Sosial di tengah Kekacauan Dunia serta rangkaian kegiatan Summer Course bertema Migrasi Tenaga Kerja Internasional dalam Pergeseran Dunia: Perspektif Baru dan Tantangan Kebijakan (Population and Social Policy in the Midst of World Turmoil and a Series of Summer Course activities on International Labor Migration in a World Shift: New Perspectives and Policy Challenges)”.
.
WONOSOBO, suaramerdeka.com – Sejumlah mahasiswa asal sejumlah negara mengikuti kursus musim panas (Summer Course) di Desa Lipursari, Kecamatan Leksono, Wonosobo, Senin (13/8). Kegiatan yang digelar Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Yogjakarta itu dilakukan dengan fokus penelitian tentang tata kelola eks buruh migran atau mantan tenaga kerja Indonesia (TKI).
Pendamping peserta, Fadlan Habib menyebutkan Summer Course digelar UGM bekerjasama dengan Universitas Jenderal Sudirman (Unsoed) Purwokerto. Kegiatan diikuti para mahasiswa dari Thailand, Myanmar, Taiwan dan Singapura, hingga Selandia Baru yang sebagian tengah menempuh pendidikan pascasarjana. “Kami mencoba menggali sejauh mana proses terbitnya Perda tentang Perlindungan TKI di Wonosobo,” beber dia.
Selain menggali Perda tentang Perlindungan TKI di Wonosobo, pihaknya juga menggali mengenai Peraturan Desa (Perdes) Lipursari tentang Buruh Migran. Tak hanya itu pihaknya juga menyasar dua desa migran produktif lain, yaitu Desa Kuripan Kecamatan Watumalang, dan Desa Rogojati, Kecamatan Sukoharjo. “Kami lakukan selama tiga hari. Peserta Summer Course akan berinteraksi dengan warga masyarakat setempat,” akunya.
Namun, interaksi akan lebih dikhususkan bagi para eks buruh migran untuk mendapat informasi dan data-data yang mereka perlukan untuk mendukung studi. Dari forum group discussion (FGD) yang digelar di Balai Desa Lipursari, terlihat sebagian besar peserta penasaran pada keberhasilan perjuangan eks buruh migran untuk melindungi hak-hak mereka melalui regulasi permanen oleh pemkab hingga mendapat dukungan pemdes.
Eks buruh migran yang kini menjadi aktivis pembela nasib para TKI, Siti Maryam alias Maria Bo Niok mengungkapkan, proses panjang ditempuh demi terbitnya Perda tentang Perlindungan TKI di Wonosobo. “Bahkan, proses bisa dibilang cukup berdarah-darah, karena memang tidak mudah dan banyak yang menentang juga, ketika kami berupaya mendorong terbitnya Perda Perlindungan TKI ini,” tutur dia.
Dijelaskan, para eks buruh migran Wonosobo, butuh waktu lebih dari dua tahun untuk memperjuangkan terbitnya Perda No 8/2016 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. “Pada regulasi ini salah satunya mengatur agar setiap calon TKI perempuan yang memiliki kewajiban menyusui, wajib menunggu hingga anaknya berusia dua tahun apabila berkeinginan berangkat ke luar negeri untuk bekerja sebagai buruh,” terangnya.
Hal itu, kata Maria sempat menjadi polemik dan bahkan sebagian pihak menuduhnya melanggar hak asasi manusia (HAM). “Kami bergeming dan tetap pada pendirian bahwa anak lebih berhak mendapatkan air susu ibu (ASI) dan pengasuhan seorang ibu sampai ia berumur dua tahun, dan akhirnya usulan itu disetujui dan diakomodasi dalam Perda,” beber wanita berhijab itu.
Senada, Kepala Desa Lipursari, Wagiman mengakui, adanya Perda Perlindungan TKI akhirnya menginspirasi pemerintah desa untuk membuat turunan berupa perdes. Dengan terbitnya perdes, kini para calon TKI tidak lagi bisa sembunyi-sembunyi apabila ingin berangkat ke luar negeri. “Dulu sering sekali kami kecolongan, karena para TKI tidak mengurus perizinan ke pemerintah desa,” ujar dia.
Namun demikian, setelah setahun lebih merantau ke luar negeri, pihaknya baru mengetahui mereka saat sudah pulang. Dengan sudah tertibnya administrasi setelah terbitnya perdes, kini ia mengaku tidak ada lagi warga yang pergi tanpa pamit. Imbas positif lainnya, warga Lipursari terhindar dari praktek human trafficking (perdagangan manusia), karena kini tidak sembarang PJTKI mencari tenaga kerja tanpa mendapat izin dari pihak pemdes. []
*Sumber: Suara Merdeka | Photo: Sejumlah mahasiswa asal sejumlah negara melakukan FGD dengan eks buruh migran saat kegiatan kursus musim panas (Summer Course) di Desa Lipursari, Kecamatan Leksono, Wonosobo, Senin (13/8). (Foto suaramerdeka.com/M Abdul Rohman)