Jangan Jadi Hater, Ajukan Solusi | Media Indonesia

08 Mei 2018 | admin
Arsip Media, Berita PSKK, Main Slide, Media

Media Indonesia – Politik tak mesti jadi pemicu alergi. Michael Victor Sianipar kini sibuk mendorong orang-orang yang punya integritas dan kepedulian terhadap Indonesia jangan hanya berbicara, tetapi berkontribusi dengan masuk ke sistem. Terjun ke dunia politik mestinya jadi tren kekinian. Mereka yang bersiap menjadi pemimpin tentu yang punya kualitas dan kompetensi, seharusnya jadi idola, bukan diserbu dengan postingan ala haters di Instagram atau Twitter-nya.

Michael Victor Sianipar yang menyandang sebuat sebagai kakak pertama di jajaran anak magang era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menyakini Indonesia diperbaiki, harus melalui parpol. Sesuai UUD, entitas yang bisa melakukan perubahan ialah partai politik.

Bahkan, presiden, gubernur, wali kota, atau bupati sekalipun merupakan kepanjangan tangan dari parpol. Pasalnya, untuk maju, mereka memerlukan suara parpol.

“Orang-orang baik harus berkumpul mendorong orang baik untuk muncul.”

Paling terdampak

Michael, yang mendapat beasiswa sejak SMA hingga kuliah di Korea Selatan, menolak tawaran kerja di salah satu perusahaan besar di sana untuk membalas hutangnya kepada negara.

“Kalau ke swasta, saya hanya mikirin diri saya doang,” kata dia. Masalah di rumah kita, kata Michael, tidak ada orang lain yang bisa membereskan, kecuali kita sendiri.

“Yang paling terkena dampak dari persoalan yang tidak beres-beres ialah anak-anak muda karena akan hidup sampai 40 tahun ke depan.”

Gerakan kebangsaan

Ronny Armando Pitojo, kawan Michael di Balai Kota, memutuskan jalan terbaiknya, berkontribusi dengan menginisiasi gerakan kebangsaan dan toleransi.

“Anak muda tidak boleh menyerah karena melihat jalan terjal yang harus mereka lalui karena selalu ada jalan utuk perubahan yang lebih baik.”

Kisah lainnya dikemukakan Andreas Santo Pen, senior bussiness consultant dalam program kerja sama pemerintah Australia dan Indonesia di bidang pertanian ini ajeg pada pilihannya membantu petani.

“Setelah sempat melihat proses pembuatan kebijakan, saya jadi punya konteks dan gambaran proses pembuatan kebijakan,” kata dia.

Andreas menekankan anak-anak muda di internal birokrasi harus menggerakkan digitalisasi untuk efisiensi dan transparansi.

Jalan pintas

Data Bappenas menunjukkan, pada 2030-2040, Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi ketika jumlah penduduk usia produktif, usia 15-64 tahun mendominasi. Dengan tingginya jumlah usia produktif, peran orang muda pun diperkirakan akan semakin besar, terutama dalam berkontribusi terhadap kebijakan.

Agus Heruanto Hadna, Direktur Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, mengungkapkan, dengan revolusi industri 4.0 peran orang muda untuk tampil ke muka jauh lebih terbuka. Aspek-aspek partisipatif pun lebih terfasilitasi. “Jauh berbeda dengan dulu, yang harus melalui jalur politik, legislatif, atau pemerintah untuk bisa berkontribusi dalam kebijakan publik,” kata dia ketika dihubungi Media Indonesia.

Dengan hanya menggunakan telepon pintar, orang muda sudah bisa bersuara untuk memberi masukan membuat kebijakan publik dan memengaruhi arah pemerintahan. Oleh sebab itu, anak muda harus bisa memanfaatkan peluang yang ada saat ini untuk hal positif.

“Keberhasilan anak muda tergantung pada kemampuan mereka merespons perubahan-perubahan yang terjadi yang diakibatkan oleh revolusi industri 4.0,” kata dia. Dengan revolusi industri 4.0 orang muda ditantang bermain di level global. Orang muda ditantang keluar dari zona nyaman untuk memperbaiki keadaan dengan standar global.

Orang muda harus bisa memanfaatkan peluang yang ada. Jika tidak bisa memanfaatkannya, tingginya jumlah usia produktif malah bisa menjadi musibah.

Di sisi lain, pemerintah mestinya memfasilitasi dan meregulasi penciptaan sistem-sistem digital yang mendorong anak muda lebih kreatif dan partisipatif. Aturan main tetap harus ada untuk menghindari kejahatan dan informasi bohong. Saatnya yang muda punya cerita, tentu bukan kisah halu, ya! []

*Sumber: Media Indonesia | Ilustrasi: Remaja dan smartphone/huffpost.com