Tantangan Transmigrasi, Masih Banyak yang Memilih Bermigrasi ke Luar Negeri

15 Oktober 2016 | admin
Berita PSKK, Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Transmigrasi bukanlah soal isu ekonomi semata. Transmigrasi berkaitan pula dengan isu-isu lainnya, seperti sosial, politik, budaya, dan pertahanan keamanan. Lebih jauh, transmigrasi tak lain merupakan investasi jangka panjang negara. Untuk itu, ada tiga kepentingan yang harus terakomodasi dalam program transmigrasi, baik individu, daerah, maupun negara.

Pemerintahan Jokowi-JK melihat potensi ini. Program transmigrasi lalu digalakkan kembali dan menjadi bagian yang terintegrasi dengan program pembangunan desa-desa. Pelaksanaan program transmigrasi sejak Orde Baru disebut telah berhasil menciptakan 1.100 desa mandiri. Berkat upaya dan kerja keras transmigran, sejumlah koperasi dan badan usaha desa berhasil dibentuk dan berjalan.

Namun begitu, Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. Sukamdi, M.Sc. mengatakan, upaya untuk mendorong penduduk bertransmigrasi belakangan ini tidaklah mudah. Banyak yang lebih memilih untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri seperti di Malaysia, Taiwan, Arab Saudi, Hong Kong, serta beberapa negara tujuan lainnya di kawasan Asia Timur dan Eropa.

“Bahkan saat harus berhadapan dengan risiko besar seperti pelecehan, kekerasan, hingga kematian seperti yang kerap dialami TKI kita, mereka akan tetap memilih bermigrasi ke luar negeri,” kata Sukamdi dalam Focus Group Discussion Ketransmigrasian “Transmigrasi Membangkitkan Industrialisasi Pertanian dari Pinggiran” yang diselenggarakan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Yogyakarta beberapa waktu lalu (30/9).

Data Penempatan Tenaga Kerja Indonesia 2011-2015 yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan ada lebih dari 2 juta penduduk (2.299.187) yang pergi meninggalkan Indonesia untuk bekerja di luar negeri. Jumlah ini bisa lebih banyak mengingat banyak TKI yang tidak memiliki dokumen resmi dan pergi melalui jalur-jalur keberangkatan ilegal.

Sementara Data Realisasi Penempatan Transmigran Berdasarkan Provinsi 2011-2015 dari Pusat Data dan Informasi Kemendes PDTT menunjukkan, ada 26.989 kepala keluarga atau 100.452 jiwa yang mengikuti program transmigrasi. Untuk daerah tujuan penempatannya masih banyak berada di wilayah Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Ada gap atau jarak angka penempatan yang jauh. Artinya, program transmigrasi memang cenderung tidak popular. Banyak penelitian menyimpulkan, motif utama seseorang bermigrasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, terutama aspek ekonomi atau pendapatan. Bermigrasi ke luar negeri dinilai lebih prospek karena ada tawaran pendapatan yang lebih menjanjikan dibandingkan bertransmigrasi.

Sukamdi menambahkan, sedari dulu salah satu esensi kebijakan transmigrasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Tapi, pemindahan penduduk untuk mencapai target jumlah tertentu lebih banyak mewarnai pelaksanaan program transmigrasi.

Sejarah kebijakan transmigrasi

Pada forum yang dihadiri oleh Menteri Desa PDTT, Eko Putro Sandjojo beserta jajarannya itu, Sukamdi juga memaparkan secara ringkas tentang sejarah kebijakan transmigrasi. Jauh sebelumnya, di masa kolonial, Belanda menjalankan program emigrasi sebagai bagian dari pelaksanaan politik etis (ethiesche politiek). Program bertujuan untuk mengurangi jumlah penduduk di Pulau Jawa, sekaligus memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah.

Pada masa resesi dunia melanda, khususnya pada 1927-1939, banyak pekerja migran atau kuli kontrak yang kembali ke Jawa karena hampir semua perkebunan di Sumatera mengalami kebangkrutan. Baru pada 1930, terjadi lagi perpindahan penduduk yang cukup besar dari Jawa ke Sumatera meski bantuan dari pemerintah Hindia Belanda seperti pinjaman kredit untuk membeli ternak, alat-alat pertanian, dan bahan-bahan membangun rumah, berkurang.

Berbeda di masa kolonialisme, di masa pendudukan Jepang (1942-1945), program transmigrasi tidak menjadi perhatian serius bagi pemerintah Jepang. Jepang lebih fokus terhadap pengiriman penduduk sebagai buruh paksa atau romusha demi pengerjaan proyek-proyek pembangunan militernya. Ini berpengaruh terhadap sedikitnya penduduk Jawa yang pindah ke Sumatera.

Di masa kemerdekaan, program transmigrasi kembali diinisiasi dengan dibentuknya panitia yang diketuai oleh AHD Tambunan pada 1948. Rencana ambisius disusun, yakni mengurangi jumlah penduduk Jawa dari 52 juta pada 1952 menjadi 31 juta pada 1987. Realisasinya, selama 1950-1959 hanya mampu memindahkan 227.360 jiwa. Target lalu diturunkan, yakni memindahkan 2 juta jiwa selama 1956-1960 atau 400 ribu jiwa per tahun. Namun, target diturunkan lagi menjadi 1,56 juta jiwa untuk periode 1961-1968 atau 195 ribu per tahun.

Sekali lagi Sukamdi menyampaikan, peraturan perundang-undangan yang disusun oleh pemerintah secara jelas menyebutkan, transmigrasi bertujuan untuk peningkatan taraf hidup, keamanan, persatuan dan kesatuan bangsa. Tapi, ukuran yang digunakan masih selalu kuantitatif—berapa penduduk dari Jawa yang berhasil dipindahkan?

Pada prinsipnya, program transmigrasi perlu didasarkan pada keinginan penduduk, bukan negara. Fokusnya juga pada daerah tujuan transmigrasi dengan mengembangkan daya tarik yang ada di sana, selain terintegrasi dengan program pembangunan yang lain.

“Transmigrasi harus disusun sebagai program jangka panjang yang berkesinambungan. Juga bottom up, yakni berangkat dari kebutuhan di wilayah-wilayah penempatan transmigrasi. Bukan semata-mata guna mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya di sana, melainkan juga sebagai bentuk pembangunan yang berkeadilan,” terang Sukamdi. [] Media Center PSKK UGM | Foto: Akses jalan menuju wilayah transmigrasi di Bengkulu/Balai Pelatihan Transmigrasi Provinsi Bengkulu.dok