Permisif, Remaja Berisiko terhadap Masalah Kesehatan Reproduksi

11 Oktober 2016 | admin
Berita PSKK, Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Beberapa penelitian yang terkait dengan kehidupan remaja di Indonesia pada umumnya menyimpulkan bahwa ada perubahan dalam nilai-nilai hidup yang dianut oleh para remaja. Dewasa ini ada kecenderungan untuk permisif terhadap gaya hidup seksual pranikah.

Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Sri Purwatiningsih, M.Si. menyampaikan, untuk itu penduduk usia remaja sebetulnya perlu mendapatkan perhatian yang serius. Mereka sangat berisiko terhadap masalah-masalah kesehatan reproduksi akibat perilaku seksual pranikah, penggunaan obat-obatan terlarang yang bisa berujung pada HIV dan AIDS.

“Tidak banyak remaja yang mendapatkan informasi cukup tentang kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual. Keterbatasan informasi ditambah perilaku seksual aktif yang berisiko kerap menimbulkan kasus kehamilan dan perkawinan pada usia remaja,” kata Sri dalam Pertemuan Tenaga Ahli “Pengembangan Desain Kajian Perkawinan Anak”, beberapa waktu lalu di Jakarta.

Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 maupun 2012, remaja laki-laki cenderung lebih permisif terhadap perilaku seksual pranikah dibandingkan dengan remaja perempuan. Pada 2007, sebanyak 3,7 persen remaja laki-laki usia 15-19 tahun mengaku sudah pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Jumlah ini naik menjadi 4,5 persen remaja laki-laki menurut data 2012. Sementara persentase untuk remaja perempuan turun, yakni dari 1,3 persen (2007) ke 0,7 persen (2012).

Masih dari sumber data yang sama, SDKI 2012 juga menunjukkan, sebanyak 12,8 persen remaja perempuan berstatus telah menikah. Dari persentase tersebut, sebanyak 88,9 persen merupakan remaja usia 15-19 tahun dan 11,1 persen berusia 10-14 tahun.

Sri menyampaikan, pernah bekerjasama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) dalam menganalisis data SDKI, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Pertama, apabila dilihat secara nasional, maka ada penurunan angka fertilitas remaja, yakni 51 dari 1000 kelahiran (SDKI 2007) menjadi 48 dari 1000 kelahiran (SDKI 2012). Akan tetapi, jika dilihat per daerah atau provinsi maka terjadi variasi angka. Masih ada wilayah dengan angka perkawinan remaja yang cukup tinggi.

Kedua, tentang upaya atau solusi yang diambil remaja saat mengalami KTD (kehamilan tidak diinginkan). Hasil analisisnya cukup mengkhawatirkan, Sri menambahkan. Ada 58 persen remaja yang mengalami KTD melakukan upaya untuk menggugurkan kandungannya. Lalu 6,4 persen mencoba menggugurkan namun gagal, sementara yang meneruskan kehamilannya ada 33 persen.

Sri menegaskan, persoalan ini harus menjadi perhatian kita. Para remaja perempuan karena belum punya surat nikah, kerap sulit mengakses layanan kesehatan. Belum lagi, menghadapi respon yang kurang baik dari petugas kesehatan. Bagaimanapun, kehamilan pada remaja sesungguhnya memiliki efek beruntun.

“Banyak remaja karena hamil di luar nikah mengalami stress juga kekurangan zat besi. Ini tentu berdampak terhadap kondisi bayi yang dilahirkan, misalnya berat badan bayi kurang atau BBLR,” kata Sri lagi.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Seksi Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja di Luar Sekolah, Direktorat Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan, dr. Linda Siti Rohaeti menyampaikan pihaknya tetap menjaga komitmen agar para remaja khususnya yang mengalami kehamilan bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.

Sejak 2003, Kemenkes menyelenggarakan program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) untuk melayani kesehatan remaja. Selain memberikan layanan pencegahan seperti pemberian informasi dan edukasi tentang kesehatan reproduksi, PKPR juga memiliki layanan pengobatan mulai dari konseling, pemeriksaan kehamilan bagi remaja, penanganan remaja dengan kasus HIV dan AIDS hingga penyakit menular seksual, dan sebagainya.

Linda juga mengharapkan agar target tahun ini bisa tercapai, yakni sebanyak 30 persen dari 10 ribu puskesmas di Indonesia sudah merupakan puskesmas PKPR. Meski mungkin masih terbatas secara fasilitas, minimal kebutuhan remaja untuk bisa hadir secara privat, aman, dan nyaman bisa terpenuhi.

“Kita juga melatih para petugas kesehatan, memberi pemahaman bahwa sedikit sekali remaja yang datang meminta tolong. Untuk itu, berikan layanan yang baik. Jadilah petugas kesehatan yang bisa menerima mereka apa adanya, bahkan menjadi teman untuk bercerita, berbagi,” jelas Linda.

Perkawinan anak sebagai tradisi

Perkawinan anak atau perkawinan pada remaja tidak selalu berkaitan dengan kasus KTD. Di beberapa wilayah, perkawinan anak terjadi karena sudah menjadi tradisi. Seperti yang disampaikan oleh Sri saat melakukan penelitian tentang perkawinan anak di Kabupaten Gunungkidul.

Data dari Pengadilan Agama Kabupaten Gunungkidul menunjukkan ada 80 permohonan dispensasi menikah pada 2009. Angka permohonan ini naik menjadi 145 pada 2011, sempat turun menjadi 114 di 2012, namun kembali naik cukup tinggi menjadi 161 pada 2013. Artinya, dalam kurun waktu empat tahun, angka permohonan dispensasi menikah naik dua kali lipat.

Sri menceritakan, perkawinan anak di Gunungkidul memang tidak bisa dilepaskan dari kultur. Beberapa wilayahnya memang relatif agak terisolir dan akses untuk pendidikan juga sulit. Saat anak sudah menstruasi, orang tua mulai bingung, mencari cara agar anak perempuannya segera menikah. Ada ketakutan dinilai masyarakat sebagai perawan tua.

“Saya pernah ke wilayah Panggang. Anak yang besoknya akan dinikahkan, sorenya masih main pasaran sama teman-temannya. Umurnya saat itu masih sekitar 10 tahun. Banyak seperti itu terjadi di sana dan sudah biasa.” [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi remaja/istimewa