MITIGASI BENCANA: Kewaspadaan Perlu Dilatih

12 Februari 2014 | admin
Media

Meski tinggal di daerah rawan bencana, menghadapi ancaman bencana yang sama setiap tahun, dan muncul korban jiwa ataupun materi, tak banyak perubahan sikap masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi bencana. Hanya hiruk pikuk sesaat ketika bencana terjadi, tetapi lupa mengambil pelajaran untuk mencegah dan meminimalkan risiko saat bencana yang sama datang berulang.

Oleh: M. Zaid Wahyudi

Orang Indonesia telah menganggap bencana sebagai hal biasa. Bahaya yang menyertainya pun dihadapi tanpa perhitungan. Sebuah wujud perilaku nekat yang dilakukan akibat rendahnya rasionalitas bangsa.

“Dibandingkan dengan bangsa-bangsa maju, perilaku orang Indonesia dalam mengambil risiko jauh lebih membabi buta, tidak didasari atas pengetahuan,” kata Sekretaris Jenderal Masyarakat Neurosains Indonesia yang juga Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak, Kamis (6/2).

Banjir, banjir bandang, longsor, dan pergerakan tanah rutin terjadi, tetapi nyaris tidak ada persiapan menyambut bencana yang bakal terjadi. Akibatnya, bencana dan upaya tanggap darurat dilakukan hanya berdasar insting atau naluri, tanpa perencanaan.

Kondisi ini terlihat saat banjir melanda sejumlah daerah di Pantai Utara Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Tidak adanya pengetahuan untuk menghadapi bencana membuat warga mencari tempat pengungsian dengan mengandalkan naluri saja. Tidak adanya komando dalam penanganan bencana, membuat lembaga kemanusiaan pun menyalurkan bantuan hanya berdasarkan insting belaka.

Menurut Taufiq, insting atau naluri sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menghadapi bahaya yang datang bersama bencana. Kepekaan atas bahaya bisa menjadi penuntun bagi seseorang untuk menghindari hal-hal yang mengancam jiwa.

Perasaan peka terhadap bahaya, termasuk yang datang bersama bencana, merupakan bawaan lahir manusia. Bagian otak yang mengendalikan kepekaan terhadap bahaya ada di sistem limbik yang terletak di otak bagian tengah.

Sistem limbik mengelola seluruh emosi manusia, seperti rasa takut, cemas, atau khawatir. Di limbik pula, keputusan untuk menghindari atau menghadapi bahaya diambil.

Meskipun termasuk bawaan lahir, kepekaan atas bahaya perlu dilatih agar tetap tajam. kepekaan inilah yang kurang dimiliki masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, seperti bantaran sungai, daerah patahan, ataupun kawasan perbukitan terjal.

Jika kepekaan terhadap bahaya tidak diasah, sesuatu hal yang sebenarnya berbahaya dan mengancam jiwa justru dianggap hal biasa. Pada kondisi ini, sistem limbik menjadi tidak aktif. Bagian otak yang aktif adalah korteks prefrontal yang ada di otak bagian depan dan bertanggung jawab atas pemikiran rasional.
“Kalau kepekaan tidak dilatih, yang muncul adalah sikap dan perilaku yang mengentengkan bahaya,” katanya. Hilangnya sensibilitas terhadap bahaya tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga bisa mengancam orang lain.

Rasionalitas 

Walaupun demikian, rasionalitas dalam menghadapi bencana sangat diperlukan. Rasionalitas dibutuhkan bukan untuk menghadapi bahaya yang mengintai ketika bencana terjadi, tetapi mengurangi dampak atau risiko bencana serta mencegah berulangnya bencana yang sama terjadi.

Sebagai contoh, saat gempa terjadi, masyarakat yang ada di dalam ruang diperintahkan untuk berlindung di bawah meja atau sesuatu yang cukup kuat untuk melindungi diri dari kemungkinan jatuhan benda-benda. Meski risiko tertimpa benda jatuh tetap ada, tindakan ini akan meminimalkan risiko yang berpotensi terjadi.

Namun, umumnya masyarakat Indonesia langsung berhamburan keluar ruangan, meski gempa masih berlangsung. Risiko tertimpa benda-benda yang jatuh atau terhimpit akibat berdesak-desakan di pintu keluar, tidak diperhatikan.

Sebelum bencana terjadi, rasionalitas diperlukan untuk mengantisipasi segala hal terburuk yang bakal terjadi, mengatur proses evakuasi dan mempersiapkan diri menghadapi masa tanggap darurat bencana yang tidak menentu. Ketika bencana berlangsung, rasionalitas akan memandu masyarakat menyelamatkan diri secara terukur dan tidak panik.

Sementara ketika bencana sudah usai, rasionalitas diperlukan untuk menghadapi segala ketidakpastian dan ketidaknyamanan selama masa tanggap darurat. Saat bencana sudah berlalu, rasionalitas akan menjaga agar bencana yang sama yang sesungguhnya bisa dicegah, tidak berulang, dan meminimalkan risiko bencana yang tidak bisa dicegah.

“Untuk Indonesia yang rawan bencana, rasionalitas dalam menghadapi bencana seharusnya lebih mengemuka,” ujar Taufiq. Jika kondisi ini terjadi, kegagapan dalam menghadapi bencana bisa dihilangkan.

Budaya

Antropolog Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Pande Made Kutanegara mengatakan, rendahnya kesadaran pemerintah dan masyarakat terhadap bencana tidak terlepas dari proses transformasi nilai dan budaya yang jauh lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan pembangunan politik, ekonomi, ataupun teknologi.

Lambatnya perubahan nilai dan budaya ini merupakan buah dari desain pembangunan Indonesia yang lebih menekankan aspek formalitas, tidak menyentuh nilai-nilai yang ada dan tumbuh di masyarakat.

Akibatnya, saat bencana terjadi, nominalisasi kerugian menjadi hal yang diutamakan, mengabaikan aspek-aspek inti kemanusiaan dan kebudayaan. Rasa humanis pun ditumpulkan sehingga kerusakan lingkungan, kematian hewan dan tanaman, tidak dianggap sebagai hilangnya bagian diri. Ini membuat manusia Indonesia semakin jauh dengan alam.

Lambatnya perubahan nilai dan budaya juga membuat upaya mitigasi bencana atau pengurangan dampak bencana sulit dilakukan. Bencana yang terjadi berulang tidak cukup menyadarkan pentingnya mitigasi bencana dikenalkan dan menjadikannya sebagai bagian hidup sehari-hari.

“Dalam tataran kognisi (pengetahuan), respons masyarakat terhadap bencana lambat berkembang,” kata Kutanegara. Wajar jika kemudian insting yang lebih mengemuka saat menghadapi bencana.

Kondisi ini diperparah dengan karakter masyarakat Indonesia yang mudah lupa dengan pengalaman masa lalu. Kemampuan manusia Indonesia melupakan hal-hal yang dianggap menganggu dan tidak menyenangkan, termasuk bencana, sangat tinggi. Inilah yang membuat catatan tentang bencana di Indonesia sangat kurang meski seluruh wilayah Indonesia sejak dulu rentan bencana.

Perpaduan antara rendahnya kognisi dan sifat mudah lupa itu membuat masyarakat Indonesia umumnya tidak pernah sedih berlarut-larut saat bencana melanda. Hilangnya nyawa dan harta benda hanya dikenang dalam hitungan jari saja. Pengalaman pahit itu juga jarang menimbulkan tekad agar bencana serupa tidak terulang.

“Implikasinya masyarakat tidak pernah belajar dari bencana di masa lalu,” ujar Kutanegara.

Jika pemerintah ingin menumbuhkan masyarakat yang sadar dan tangguh menghadapi bencana, kata Kutanegara, karakter dan konteks masyarakat di setiap daerah perlu diperhatikan. Kekuatan yang ada di masyarakat, seperti sikap gotong royong dan kesetiakawanan perlu diberdayakan.

Karena masyarakat mudah lupa, potensi dan risiko yang ada dalam setiap bencana harus diingatkan berkali-kali. Pendidikan tentang mitigasi bencana tidak cukup hanya diajarkan di sekolah-sekolah, tetapi melalui pendekatan di semua sektor termasuk melalui penanaman nilai di masyarakat dan keluarga. Pendekatan yang terlalu formal justru akan membuat pengetahuan tentang bencana mudah dilupakan masyarakat. []

*Dimuat di Harian KOMPAS, Rabu 12 Februari 2014 | Sumber foto: Sinar Harapan