Kemiskinan Masih Jadi Akar Persoalan Insiden Perkawinan Pada Anak

03 Oktober 2016 | admin
Berita PSKK, Media

Yogyakarta, PSKK UGM – UNICEF dalam Annual Report Indonesia 2014 menyatakan satu dari enam anak perempuan di Indonesia telah menikah pada usia di bawah 18 tahun. Tingginya angka perkawinan anak juga terlihat dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI. Data menunjukkan, di antara perempuan usia 10-54 tahun, ada 2,6 persen yang menikah pertama kali pada usia kurang dari 15 tahun dan 23,9 persen menikah di usia 15-19 tahun. Artinya, sekitar 26 persen perempuan di bawah umur telah menikah sebelum fungsi-fungsi organ reproduksinya berkembang secara optimal.

Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. Dewi Haryani Susilastuti dalam Pertemuan Tenaga Ahli “Pengembangan Desain Kajian Perkawinan Anak”, Jakarta (26/9) menyampaikan, Indonesia termasuk juara dalam kaitannya dengan angka perkawinan anak atau child marriage. Predikat tersebut tentu saja tidaklah membanggakan, tidak menggembirakan.

Bocah nduwe bocah, anak yang mempunyai anak. Dia masih anak-anak namun sudah punya anak. Perkawinan anak adalah persoalan, mengapa? Karena mereka secara psikis maupun fisiologis belumlah siap untuk menjadi seorang ibu,” kata Dewi.

Dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tersebut, Dewi memaparkan sejumlah temuan penelitian tentang perkawinan anak yang pernah dilakukan oleh PSKK UGM. Penelitian dilakukan pada 2011 di delapan kabupaten, antara lain Rembang, Grobogan, Lembata, Sikka, Timor Tengah Selatan (TTS), Dompu, Indramayu, dan Tabanan. Hasilnya, sebagian besar insiden perkawinan anak terjadi pada keluarga yang kepala keluarganya memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan bekerja di sektor pertanian dengan penghasilan relatif kurang.

Dewi menambahkan, jika melihat rasionya, kemungkinan terjadinya perkawinan anak pada keluarga dengan kepala rumah tangga berpendidikan rendah empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang kepala keluarganya berpendidikan lebih tinggi. Selain itu, insiden perkawinan anak berkaitan pula dengan struktur kesempatan, khususnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

“Struktur kesempatannya sangat kecil. Sudah tidak sekolah, kemudian dianggap cukup umur menurut ukuran mereka, ya mau apa lagi? Pilihan yang logis bagi mereka adalah menikah. Jika orang tuanya miskin, menikah adalah jalan untuk mengurangi beban orang tua, kata Dewi lagi.

Alih-alih mengurangi beban ekonomi, insiden perkawinan anak justru menjadi perangkap kemiskinan. Kehidupannya setelah berumah tangga tetap saja miskin. Ditambah munculnya persoalan kesehatan reproduksi seperti komplikasi pada kehamilan. Potensi tersebut cenderung tinggi, selain secara fisiologis mereka masihlah anak-anak, juga terbatasnya akses pelayanan kesehatan yang memadai. Bisa karena tinggal di wilayah yang infrastruktur kesehatannya buruk, bisa pula karena miskin sehinga mereka tidak mampu mengakses layanan dari tenaga kesehatan profesional.

Mereka juga rentan terhadap tindak kekerasan di dalam rumah tangga. Secara psikologis mereka masih muda, belum memiliki pengalaman yang cukup tentang bagaimana cara mengatasi konflik dengan orang lain, terutama dengan pasangannya. Perkawinan pada anak pun tak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian.

Data Badan Pusat Statistik tentang rumah tangga pada Statistik Sosial dan Kependudukan Tahun 2013 menunjukkan, persentasi perempuan usia 1-24 tahun yang cerai hidup sebesar 4.00 persen di perkotaan dan 14.57 persen di perdesaan. Jika dibandingkan dengan laki-laki pada rentang usia yang sama, kesenjangan itu terlihat cukup signifikan, yakni 0.36 persen laki-laki usia 1-24 tahun yang cerai hidup di perkotaan dan 1.17 persen yang cerai hidup di perdesaan. Artinya, ada lebih banyak perempuan usia 1-24 tahun yang menjadi kepala keluarga tunggal akibat perceraian. Hal ini dinilai menambah panjangnya siklus kemiskinan yang dihadapi oleh perempuan.

Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk mengurangi insiden perkawinan anak menurut Dewi. Salah satunya adalah peninjauan kembali batas umur perkawinan di dalam UU Perkawinan yang belum sesuai dengan UU Perlindungan Anak. Ini juga bukan pekerjaan yang mudah apalagi saat ini semakin banyak kelompok-kelompok konservatif agama yang menilai perkawinan anak bukanlah persoalan. Berikutnya adalah perbaikan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan peningkatan akses pendidikan.

“Karena kemiskinan adalah penyebab utama dari perkawinan anak maka tentu hal ini tidak bisa dipisahkan deengan pendidikan, pengembangan enterpreneurship, maupun pembangunan ekonomi pada umumnya,” jelas Dewi. [] Media Center PSKK UGM | Photo: Giorgia ten years old performing a fake child marriage/Getty Images