UU ASN UNTUK ABAD ASIA | Oleh: Sofian Effendi

12 February 2014 | admin
Essay & Opinion, Media

 

Artikel penulis, “Godot dan Reformasi Birokrasi” di Kompas edisi 13 Mei 2013 sedikit banyak berhasil mendorong kelahiran UU Aparatur Sipil Negara. UU ini memang sangat diperlukan untuk mengubah kultur birokrasi Indonesia, membersihkannya dari korupsi, dan untuk meningkatkan kinerjanya.

Kalimat penutup dalam artikel tersebut: “Apakah Godot akan muncul dalam bentuk persetujuan Presiden atas RUU ASN yang sudah ada di meja beliau? Atau seperti klimaks drama Beckett, Godot akhirnya tidak muncul? Kalau keputusan Presiden tentang RUU ASN bersemangat nothing to be done seperti tak munculnya Godot dalam drama Beckett, Presiden masa bakti 2015-2019 yang akan dikenang legacy-nya, yaitu UU ASN yang lama ditunggu kehadirannya.”

Sehari setelah artikel terbit, 14 Mei 2013, presiden mengadakan rapat terbatas kabinet dengan para menteri yang mewakili presiden dalam pembahasan RUU ASN dengan DPR. Pertemuan ini dilanjutkan dengan rapat kedua 16 Mei yang dihadiri lebih banyak anggota Kabinet Indonesia Bersatu 2. Pada penutupan rapat kabinet, presiden menyatakan ingin membahas secara tuntas RUU ASN pada rapat ketiga. Keadaan ini membuktikan besarnya perhatian presiden pada RUU ASN yang diharapkan memberi landasan hukum kuat untuk pembangunan aparatur negara yang memiliki kekuatan dan kemampuan yang sesuai untuk merealisasikan Visi 2045 Indonesia, yaitu “Pada 2045 Indonesia menjadi bangsa yang semakin mandiri, lebih maju, lebih adil, dan lebih makmur di Asia”.

Pada dekade ketiga abad ke-21, Asia diprakirakan menjadi pusat ekonomi dunia dan akan menghasilkan 53 persen PDB dunia yang berjumlah 325 triliun dollar AS. Saat ini PDB dunia 74 triliun dollar AS. Motor kemajuan Asia yang spektakuler tersebut adalah tujuh negara tempat berdiam 78 persen penduduk Asia. Total PDB seven samurai Asia ini diperkirakan akan mencapai 174 triliun dollar AS menurut Skenario Abad Asia yang disusun oleh ADB (1991). Penduduk China, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia pada waktu itu berjumlah 3,1 miliar yang memiliki daya beli cukup tinggi. Mereka perlu pelayanan pendidikan, medis, transportasi, komunikasi, dan hiburan berkualitas. Sementara itu, dunia bisnis memerlukan pelayanan supercepat dan superefisien agar dapat menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan oleh pasar lokal, regional, dan internasional.

ADB (2011) dan perusahaan konsultan McKinsey (2012) memprakirakan Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar ketiga Asia. Namun, potensi tersebut baru menjadi kenyataan apabila bangsa ini mampu mencapai dan mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, 7-9 persen per tahun, selama 3-4 dekade berturut-turut.

Demokratis dan efektif

Pertumbuhan seperti itu hanya mungkin dicapai apabila Indonesia memiliki pemerintahan demokratis yang efektif di bawah pimpinan seorang presiden yang visioner dan berwibawa serta didukung aparatur negara yang profesional, dinamis, dan berkinerja tinggi.

UU ASN yang disahkan DPR pada 19 Desember 2013 dan ditetapkan oleh presiden sebagai UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara pada 15 Januari 2014 merupakan landasan hukum untuk pembentukan ASN yang profesional, dinamis, dan berkinerja tinggi. Landasan teoritis yang digunakan dalam penyusunan UU No. 5/2014 adalah teori Manajemen SDM Strategis atau Strategic Human Resources Management yang memandang sumber daya manusia sebagai unsur terpenting sebuah organisasi. Karena itu, pengadaan, penempatan, promosi, dan remunerasi pegawai ASN harus dilakukan berdasarkan asas merit yang menempatkan the right person on the right job secara obyektif.

Salah satu tujuan penting UU ASN adalah membanguan ASN sebagai profesi terhormat dengan menerapkan budaya organisasi yang mengutamakan nilai-nilai integritas, pengabdian, keadilan, netralitas, kebangsaan, dan kinerja tinggi. Budaya ini akan disemaikan kepada setiap warga ASN terutama melalui program pengembangan kapasitas individual ataupun kelompok.

Pada saat UU ini diberlakukan 15 Januari 2014, sistem kepegawaian dalam pemerintahan Indonesia akan terjadi transformasi sebagai berikut. Pegawai ASN terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS), dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). PNS adalah pegawai ASN yang diangkat untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan, sedangkan PPPK adalah pegawai ASN yang diangkat untuk menjalankan tugas dukungan pemerintahan, seperti pelayanan pendidikan dan pelayanan kesehatan. PPPK adalah jalur kepegawaian untuk para pegawai negeri yang menjalankan tugas fungsional.

Lalu, jabatan ASN terdiri dari jabatan pemimpin tinggi, jabatan administrasi umum, dan jabatan fungsional. Jabatan pemimpin tinggi adalah nama baru bagi para pemegang jabatan struktural tinggi (jabatan di atas eselon 1) dan menengah (eselon 2). Jabatan pemimpin tinggi adalah pegawai ASN nasional, termasuk mereka yang ditugaskan di daerah atau di luar negeri. Pegawai jabatan administrasi umum dan pegawai jabatan fungsional adalah pegawai ASN yang pengelolaannya didesentralisasikan kepada pemda dan/atau instansi pemerintah yang diberi otonomi, misalnya RS BLU, PT BLU, dan PTN badan hukum. Penerapan batas usia pensiun yang variatif akan diterapkan pada PNS dan PPPK. UU ASN menetapkan batas usia pensiun PNS adalah 58 tahun untuk pegawai yang memegang jabatan administrasi umum dan 60 tahun untuk yang memegang jabatan pemimpin tinggi.

Pegawai ASN yang berstatus PPPK batas usia pensiunnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan masing-maisng misalnya, guru 60 tahun, dosen dan widyaiswara 65 tahun, profesor 70 tahun. Penggajian pegawai ASN, baik PNS maupun PPPK, akan menggunakan skala gaji pegawai ASN yang menerapkan skala tunggal dengan menggabungkan gaji pokok, tunjangan-tunjangan, remunerasi, dan tunjangan wilayah. Sistem penggajian baru ini sedang disusun dan penerapannya akan menunggu kesiapan pemerintah. Manfaat pensiun yang diberikan kepada pensiunan PNS telah menjadi beban besar APBN dan APBD.

Berkinerja tinggi

Saat ini, manfaat pensiun yang dibayarkan kepada lebih kurang 2,4 juta pensiunan PNS sekitar Rp. 75 triliun, sedangkan belanja pegawai di APBN 2013 baru Rp. 215 triliun. Dalam lima tahun ke depan tekanan fiskal biaya pensiun akan sangat berat mencapai lebih dari Rp. 150 triliun bila “tsunami pensiun” terjadi pada kurun waktu tersebut.

Padahal, saat ini, dana pensiun yang dikelola oleh PT. Taspen lebih kurang Rp. 135 triliun pada 2012, hanya menghasilkan dana Rp. 6,5 triliun setahun. Artinya, hampir 93 persen manfaat pensiun harus dibebankan pada APBN dan APBD. Karena itu, UU ASN menetapkan penerapan sistem pensiun kontribusi pasti bagi PPPK dan sistem pensiun manfaat pasti plus bagi PNS.

Perubahan-perubahan mendasar ini diharapkan akan memacu terciptanya aparatur sipil negra yang profesional, dinamis, dan berkinerja tinggi untuk mendukung perjalanan bangsa yang besar ini memasuki Abad Asia yang sedang terjadi. [] Sofian Effendi | Profesor Kebijakan Publik UGM dan Anggota Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional (TI-RBN)

*Dimuat di Harian KOMPAS, Rubrik Opini | Rabu, 12 Februari 2014 | Sumber foto: Istimewa