[Siaran Pers] REKAM E-KTP: Tidak Solutif, Pembatasan Waktu Perlu Ditinjau Ulang

01 September 2016 | admin
Media, Press Release

Yogyakarta, PSKK UGM – Pemerintah melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 471/1768/SJ mendorong percepatan penerbitan KTP elektronik atau e-KTP serta akta kelahiran. Khusus e-KTP, cakupan perekamannya baru mencapai 86 persen. Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, masih ada sekitar 22 juta warga yang belum terekam data kependudukannya.

Tenggat waktu kemudian diberlakukan. Perekaman data kependudukan guna memperoleh e-KTP dibatasi hingga 30 September. Lewat dari tenggat waktu, data penduduk yang belum merekam akan nonaktif. Selain itu, surat edaran juga mengatur tentang penyederhanaan prosedur perekaman e-KTP dan seruan bagi pemerintah daerah untuk “jemput bola” melalui pelayanan keliling ke wilayah-wilayah yang sulit dijangkau.

Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. Sukamdi, M.Sc. mengatakan, tenggat waktu yang ditetapkan pemerintah memang bertujuan untuk mendorong inisiatif warga, namun masalah perekaman data e-KTP tidaklah sederhana. Bukan semata-mata masalah inisiatif, beragam persoalan lain masih kerap dijumpai, misalnya alat rekam e-KTP yang rusak, minimnya ketersediaan blangko, hingga kualitas layanan yang diberikan petugas pencatatan administrasi kependudukan.

Langkah pemerintah dengan memberikan kemudahan prosedur perekaman e-KTP memang perlu diapresiasi. Cukup dengan membawa fotokopi kartu keluarga (KK) tanpa menyertakan surat pengantar dari RT, RW, kelurahan atau desa, warga bisa langsung merekam data kependudukannya.

“Tetapi, aturan dari pusat ini belum tentu diterapkan dengan baik di masing-masing kabupaten/kota. Masih ada yang mengeluhkan soal prosedur layanan. Oleh karena itu, adakah jaminan layanan prima dari pemerintah bagi warga yang datang merekam?” kata Sukamdi.

Terbitnya surat edaran mendagri juga dinilai bukan kebijakan yang solutif bagi penataan basis data kependudukan. Surat edaran tersebut bahkan cenderung membingungkan. Di satu sisi ada tenggat waktu dan pernyataan pemerintah bahwa tidak akan ada sanksi atau punishment. Namun, di sisi lain warga yang belum memiliki e-KTP akan sulit mengakses layanan publik lainnya yang berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Ini tak lain adalah bentuk sanksi.

Bagi Sukamdi, konsekuensi tersebut tidak bisa dibenarkan meski data bisa diaktifkan kembali dengan mengurusnya di dinas kependudukan setempat. Mengapa? Persoalan bukan hanya kurangnya inisiatif warga. Sebagian warga menghadapi persoalan akses karena berada di wilayah yang secara geografis sulit dijangkau seperti di perbatasan maupun pelosok atau pedalaman. Mereka bahkan harus mengeluarkan ongkos transportasi yang tidak sedikit, meski biaya pendaftaran e-KTP gratis.

“Harus diakui, proses merekam data hingga menjadikannya e-KTP masih bermasalah. Ini adalah PR pemerintah sehingga konsekuensi yang harus ditanggung warga akibat tenggat waktu tadi cenderung melanggar. Hak konstitusionalnya dihilangkan,” katanya lagi.

Untuk itu Kemendagri perlu mengkaji kembali kebijakan yang dikeluarkannya. Jika mekanisme tenggat waktu masih hendak diterapkan, maka jangan sampai bentuk disinsentif atau konsekuensi yang diterima warga menghilangkan hak. Bentuk disinsentif bisa ditekankan misalnya, pada prosedur yang lebih banyak atau panjang apabila belum mendaftar hingga tenggat waktu.

Surat edaran mendagri pun akan lebih baik apabila fokus pada upaya-upaya untuk memperbesar kemampuan pemerintah di dalam memberikan layanan adminduk. Misalnya, kelonggaran pendanaan atau budgeting oleh pemda, gerakan “jemput bola”, memperluas penggunaan alat baca e-KTP atau card reader, dan sebagainya.

“Ini yang sering luput dari perhatian. Penggunaan e-KTP tidak bisa maksimal apabila card reader belum tersedia. Pemerintah sudah harus menentukan pihak atau unit layanan apa saja yang bisa menggunakan card reader. Bagaimanapun, pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi kerahasiaan data penduduknya,” tambah Sukamdi.

Inovasi kebijakan daerah

Dalam konteks pencatatan adminduk di Indonesia, memang tidak ada one policy fit for all. Belum tentu sebuah kebijakan bisa cocok untuk diterapkan di masing-masing wilayah. Ada beberapa wilayah dengan karakteristik tertentu yang perlu diperlakukan secara berbeda seperti wilayah perbatasan dan pedalaman. Untuk bisa merespon kesulitan yang dihadapi penduduknya, pemda setempat perlu mendapatkan diskresi.

“Peraturan seperti surat edaran dari pusat sifatnya generik. Pada implementasinya pemda kabupaten/kota sebaiknya diberikan diskresi atau keleluasaan untuk menerjemahkan kebijakan generik ke dalam keputusan-keputusan yang lebih responsif terhadap kondisi wilayahnya,” jelas Sukamdi.

Seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Gresik melalui program “Kakekku Datang” atau Kartu Keluarga Ku Data Ulang. Ide program ini datang karena melihat problem kependudukan yang dihadapi Kabupaten Gresik. Mulai dari banyaknya KK yang tidak pernah diperbaharui sejak 2008, data ganda, data anomali, dan lain sebagainya.

Program Kakekku Datang dipersiapkan secara matang. Tidak hanya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil saja yang bergerak, tetapi juga tenaga profesional di 18 kecamatan. Data kependudukan yang bermasalah disosialisasikan kepada petugas register di desa untuk kemudian dilakukan layanan “jemput bola”. Verifikasi lalu dilakukan di tingkat RT/RW, desa, dan kecamatan. Setelah verifikasi dan validasi data, diterbitkanlah KK baru. Program ini bahkan bisa mengantarkan Gresik ke dalam Top 99 Inovasi Kebijakan Publik 2016.

“Inovasi kebijakan sebetulnya cukup yang sederhana saja namun efektif hasilnya. Tidak ada salahnya jika cocok, program seperti yang diterapkan Gresik dicontoh oleh wilayah kabupaten/kota lainnya,” tutup Sukamdi. [] Media Center PSKK UGM | Photo e-KTP/koranmuria.com