[SIARAN PERS] KOMPENSASI BBM: Fondasi Kelembagaan Belum Mapan, Program “Kartu Sakti” Jokowi Dinilai Rapuh

04 December 2014 | admin
Media, Press Release

Yogyakarta, MDSK UGM – Pasca menetapkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla terus menerima reaksi penolakan keras dari berbagai pihak. Basis legitimasi untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dinilai sangat lemah karena dilakukan justru di saat harga minyak dunia sedang turun.

Persoalan kian pelik saat program kompensasi pengurangan subsidi BBM seperti Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Sehat (KIS), serta Kartu Indonesia Pintar (KIP) diluncurkan. Hal itu mengemuka dalam seminar nasional bertajuk “Politik Anggaran: Antara Subsidi dan Perlindungan Sosial untuk Rumah Tangga Miskin” yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister dan Doktor Studi Kebijakan Universitas Gadjah Mada (MDSK UGM) di Kampus MDSK, Gedung Masri Singarimbun, Kamis (4/12).

Pengamat Kebijakan Perlindungan Sosial, dan Wakil Direktur MDSK UGM, Mulyadi Sumarto, Ph.D. mengatakan, program KKS, KIS, dan KIP yang dilakukan oleh Jokowi sebenarnya sama dengan program pada pemerintahan sebelumnya, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Bantuan Siswa Miskin (BSM), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Hanya “bungkusnya” yang membedakan. Sementara isi atau esensi dari program tersebut tetaplah sama.

Mulyadi menambahkan, hal ini menunjukkan, di dalam program pemerintah, nama program memiliki makna politik yang sangat besar. Jika Jokowi tidak mengubah nama program, mungkin reaksi penolakan dari lawan politiknya tidak sekeras sekarang. KIS, dan KIP kerap diasosiasikan dengan nama program Jokowi saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, yakni Kartu Jakarta Sehat, dan Kartu Jakarta Pintar.

Inilah yang kemudian membuat Jokowi dan lawan-lawan politiknya jadi saling berhadapan, head to head. Pemikiran tersebut pernah Mulyadi sampaikan secara implisit dalam tulisan opini berjudul “Diskriminasi dan Politisasi Jaminan Kesehatan” yang dimuat Kompas, 29 September lalu.

Selain penggantian nama program, “Kartu Sakti” juga menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat, terutama bagi rumah tangga miskin sebagai sasaran program, serta para pelaksana teknis di lapangan. Hingga kini, belum ada petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan program. Tanpa kejelasan juknis, Mulyadi mengatakan, program tersebut telah menempatkan masyarakat di dalam risiko untuk menghadapi konflik seperti yang pernah terjadi sebelumnya saat pelaksanaan program BLT.

“Lebih repot lagi, program ini secara legal-formal tidak bisa dikatakan sebagai program kompensasi pengurangan subsidi BBM karena tidak ada Inpres satu pun yang mengatakan demikian. Pernyataan pemerintah bahwa KKS, KIS, dan KIP sebagai program kompensasi bersifat rapuh,” kata Mulyadi.

Pemerintah seharusnya fokus untuk memperkuat sistem dan meletakkan fondasi kelembagaan yang lebih mapan agar tujuan moral dari distribusi kesejahteraan tersebut bisa tercapai. Bukan kemudian mengurus tataran permukaannya saja dengan mengubah nama program.

“Seharusnya KKS, KIS, dan KIP yang menyerap anggaran sangat besar ini bisa dirancang dan dilaksanakan dengan lebih baik dibanding pendahulunya, yaitu program BLT. Tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Ini kemunduran. Sudah kehilangan basis legitimasi karena kenaikan terjadi di saat harga minyak dunia turun, masih ditambah tidak adanya Inpres dan juknis,” kata Mulyadi lagi.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik UGM, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo menyampaikan, pengalihan subsidi BBM ke arah subsidi yang lebih produktif dengan target yang lebih spesifik tampaknya menjadi pertaruhan politik anggaran yang sangat menentukan bagi pemerintahan Jokowi.

Efektivitas pemberian subsidi kepada alokasi pendanaan yang lebih penting seperti, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, bagi Kumorotomo, akan menjadi titik penting yang menentukan kepercayaan publik kepada pemerintahan baru ini.

“Penghematan subsidi BBM sebesar Rp 120 triliun dari kenaikan harga baru-baru ini harus benar-benar dimanfaatkan untuk mendanai program-program strategis pemerintah, dan mengalihkan subsidi kepada segmen masyarakat yang membutuhkannya,” kata Kumorotomo.

Di lain sisi, Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat BAPPENAS, Vivi Yulaswati, Ph.D. mengakui, program kompensasi dalam bentuk uang tunai yang selama ini dijalankan pemerintah hanya bertujuan untuk meredam lonjakan inflasi jangka pendek. Bantuan tunai tidak bisa melindungi rumah tangga dari berbagai sumber kerentanan. Maka, perlu dibangun sistem perlindungan sosial yang komprehensif.

Terkait lemahnya validitas data rumah tangga sasaran, Vivi mengatakan, untuk jangka panjang memang diperlukan perbaikan agar akumulasi ketidakpuasan tidak meningkatkan ketegangan sosial.

“Pengembangan sistem pengaduan dan rujukan terpadu sebenarnya bisa menjadi solusi untuk memperbaiki proses pembaruan data rumah tangga sasaran secara regular, dinamis, juga sinkron dengan implementasi program yang lain, dan penanganan pengaduan,” jelas Vivi. [] Media Center PSKK UGM