REZIM KESEJAHTERAAN | Oleh: Mulyadi Sumarto

18 September 2014 | admin
Essay & Opinion, Media

DALAM dua dekade terakhir, masyarakat di negara berkembang, termasuk di Indonesia, mengalami fase perkembangan penting dalam mewujudkan kesejahteraannya.

Berbagai studi (Barrientos 2004; Gough 2004; Wood 2004) menunjukkan, negara berkembang sedang menghadapi tantangan transformasi rezim kesejahteraan. Melalui transformasi yang terjadi karena peningkatan peranan negara dalam distribusi perlindungan sosial itu, hak masyarakat mendapatkan kesejahteraan bisa tercapai dengan lebih mudah. Di negara kesejahteraan (welfare state) di Eropa dan Amerika, transformasi serupa telah dialami lebih 400 dari tahun lalu melalui pengesahan Elizabethan Poor Law yang memberi mandat kepada negara untuk memberikan perlindungan sosial rumah tangga miskin.

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Tim Transisi Jokowi-JK yang diulas Kompas (13/08/2014) merupakan wujud peningkatan peranan negara dan aktor penting transformasi rezim kesejahteraan di Indonesia. Namun, mereka kurang memahami masalah sosial-politik yang menyertai transformasi rezim ini.

Konsep rezim kesejahteraan berkembang setelah publikasi buku monumental karya Esping-Andersen pada 1990. Rezim kesejahteraan merupakan rangkaian pengaturan kelembagaan, kebijakan, dan tradisi yang memengaruhi kesejahteraan dan struktur sosial di masyarakat (Gough, 2004).

Pada tahap awal, konsep rezim kesejahteraan hanya mencakup negara kesejahteraan. Negara kesejahteraan dibagi tiga kategori: liberal, konservatif, sosial-demokrat. Yang membedakan ketiga jenis negara kesejahteraan itu adalah seberapa besar peranan negara dalam memberikan kesejahteraan dalam bentuk perlindungan sosial bagi masyarakat untuk mengurangi ketergantungan mereka memperoleh kesejahteraan dari sektor privat.

Pasca publikasi Esping-Andersen, berkembanglah kajian rezim kesejahteraan di negara berkembang. Sejak 1998, Indonesia mengalami transformasi rezim kesejahteraan dari rezim yang mengandalkan peranan komunitas dalam distribusi perlindungan sosial menuju pada kombinasi peranan komunitas dan negara.

Sebelum 1998, pemerintah memberikan perlindungan sosial hanya kepada rumah tangga pegawai negeri dan militer. Rumah tangga yang lain mendapatkan perlindungan sosial dari sektor privat, komunitas, dan keluarga. Mulai 1998, pemerintah mendistribusikan perlindungan sosial kepada rumah tangga miskin.

Peningkatan peranan pemerintah Indonesia tersebut diawali dari distribusi Jaring Pengaman Sosial (JPS), suatu persyaratan yang diwajibkan oleh Bank Dunia karena Indonesia meminjam bantuan asing dari bank tersebut untuk merespons krisis ekonomi 1998. Setelah utang dilunasi, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengubah program JPS menjadi program penanggulangan kemiskinan yang dikelola di bawah TNP2K. Namun, TNP2K tidak berhasil menjalankan mandat yang diterimanya karena lembaga ini menghadapi masalah kompleks, yaitu mengelola lebih dari 50 program yang tersebar hampir di semua kementerian.

Ideologi dan konflik

Mungkin benar laporan yang disampaikan oleh Sekretaris Eksekutif TNP2K bahwa program perlindungan sosial dan program lainnya telah menurunkan kemiskinan walaupun itu masih bisa diperdebatkan karena pilihan indikator kemiskinan yang dipergunakannya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah implikasi sosial-politik akibat pelaksanaan program-program tersebut, yaitu terjadi konflik sosial dan praktik klientelisme yang cukup problematik.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bantuan Beras untuk Orang Miskin (raskin) telah menimbulkan konflik. Konflik tersebut mengancam modal sosial yang merupakan media yang digunakan masyarakat untuk mendistribusikan perlindungan sosial. Modal sosial telah membantu masyarakat mempertahankan hidupnya saat negara mengalami keterbatasan dalam menjangkau mereka.

Pada saat yang sama, program-program tersebut telah dimanfaatkan elite politik untuk praktik klientelisme dengan cara menggunakannya untuk memperoleh dukungan politik guna memenangkan pemilihan kepala desa, pemilu legislatif, dan pemilu presiden.

Munculnya konflik sosial dan praktik klientelisme ini sering terjadi dalam transformasi rezim kesejahteraan di negara berkembang. Konflik terjadi karena sistem distribusi yang memberikan perlindungan sosial secara selektif hanya kepada masyarakat miskin belum terbangun secara mapan sehingga salah sasaran dan memicu konflik.

Terkait praktik klientelisme, masalah ini muncul karena masalah pemahaman ideologis partai politik (parpol) pada makna perlindungan sosial. Di tempat asalnya berkembang; di negara kesejahteraan, program perlindungan sosial berjalan seiring pertumbuhan ideologi parpol dan gerakan petani. Bagi parpol di negara tersebut, perjuangan mewujudkan perlindungan sosial dan bagaimana mendistribusikannya merupakan representasi ideologi yang dianutnya.

Sementara distribusi perlindungan sosial untuk masyarakat miskin di Indonesia diawali dari program JPS. Ini program baru yang dilaksanakan secara mendadak atas desakan Bank Dunia sehingga implementasinya tidak berjalan beriringan dengan perkembangan pemahaman ideologi parpol. Keterbatasan pemahaman parpol atas makna ideologis perlindungan sosial telah mendorongnya menggunakan program tersebut untuk kepentingan jangka pendek, terutama memanfaatkannya sebagai media untuk mendapatkan dukungan politik.

Sayangnya, masalah ideologi dan konflik tersebut tidak dipertimbangkan oleh Bank Dunia ketika mengintrodusir program JPS, sementara TNP2K tidak mampu mengantisipasinya.

Untuk itu, tantangan pemerintah ke depan tidak hanya masalah teknik pengelolaan program, sebagaimana yang disampaikan oleh Sekretaris Eksekutif TNP2K dan Tim Transisi Jokowi-JK, tetapi juga problem yang lebih mendasar adalah keterbatasan pemahaman ideologis, minimalisasi risiko munculnya konflik, dan menjaga keberlanjutan modal sosial. [] Mulyadi Sumarto, Dosen & Peneliti UGM

*Sumber: Kolom Opini Harian Kompas, 18 September 2014 | Foto: TNP2K