Rendahnya Penguasaan Lahan Menghambat Pengentasan Kemiskinan di Perdesaan

23 November 2016 | admin
CPPS' News, Main Slide, Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Tingkat kemiskinan di Indonesia paling tinggi masih terjadi di perdesaan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia menyebutkan, kemiskinan di perdesaan mencapai 15,72 persen. Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di perkotaan, yakni 9,23 persen.

Berangkat dari hasil penelitian yang dilakukannya di tiga desa di wilayah Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Dr. Agus Joko Pitoyo, M.A., peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada menyampaikan, ada dua hal yang menghambat penduduk di wilayah perdesaan untuk bisa keluar dari kemiskinan.

Pertama, rendahnya penguasaan lahan terutama di saat sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama penduduk. Penguasaan dan distribusi lahan pertanian sebetulnya merupakan jaminan kesejahteraan agar bisa keluar dari jerat kemiskinan. Jika akses terhadap penguasaan atau distribusi lahan kecil, maka potensi mereka untuk terbebas dari kemiskinan juga kecil.

Studi kasus yang dilakukan di Desa Banjararum, Banjarsari, dan Pagerharjo pada 2013 lalu itu menunjukkan, hanya 17 persen kepala rumah tangga miskin yang memiliki lahan sendiri dan 15 persen berstatus menyewa lahan. Sementara sisanya adalah penduduk yang tidak memiliki lahan dan bekerja sebagai petani penggarap.

Berdasarkan luas lahan yang diusahakan pun masih sangat kecil, yaitu 0,14 persen hektar per tumah tangga. Proporsi rumah tangga miskin yang memiliki lahan lebih dari 1 hektar juga hanya 37 persen (38 kepala keluarga) dari 103 rumah tangga yang memiliki lahan.

“Mereka inilah yang biasanya dapat keluar dari kemiskinan karena lahannya masih dapat diusahakan, sedangkan yang lainnya adalah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar sehingga sulit untuk keluar dari kemiskinan,” ujar Joko.

Kedua, pengeluaran untuk biaya sosial yang cukup tinggi. Pengeluaran tersebut paling banyak terjadi di bulan Dulkaidah, Ruwah, dan Besar menurut penanggalan Jawa. Biaya sosial menjadi tinggi karena ada banyak rumah tangga yang menyelenggarakan selamatan. Selamatan dilakukan untuk merayakan hampir semua kejadian hidup manusia, seperti kelahiran, kematian, pernikahan, pindah rumah, panen raya, dan sebagainya.

Namun begitu, penduduk miskin perdesaan sebetulnya memiliki berbagai cara atau strategi untuk bertahan hidup dan lepas dari kemiskinannya. Salah satunya, dengan melakukan diversifikasi pekerjaan. Di Banjararum yang secara geografis merupakan wilayah dataran rendah misalnya, selain mengusahakan pertanian lahan basah, penduduk miskinnya juga memelihara ternak. Hewan ternak dibeli saat masih kecil, kemudian dipelihara hingga besar dan dikembangkan jumlahnya untuk selanjutnya dijual.

Strategi lainnya adalah dengan menjadi pedagang kecil di pasar tradisional serta mengikutsertakan anak dalam bekerja. Anak yang bekerja sebagian besar berada pada kegiatan nonpertanian. Umumnya mereka lulusan SMA yang belum menikah dan bekerja sebagai karyawan di kota.

Sedikit berbeda dengan yang terjadi di Desa Banjarsari yang secara geografis merupakan wilayah transisi dari dataran rendah ke daerah perbukitan. Selain berternak, sebagian besar penduduk miskin di sini mengelola lahan pertanian kering dengan menanam kakao. Sesekali mereka juga memanfaatkan jasa keuangan untuk menambah modal usaha untuk budidaya kakao. Jika dibandingkan dengan dua desa lainnya, penduduk di Banjarsari paling banyak memanfaatkan jasa keuangan dari koperasi kelompok, koperasi desa, maupun bank. Persentasenya mencapai 14,3 persen.

Sementara itu, strategi pendudum miskin di Desa Pagerharjo hampir sama dengan yang dilakukan oleh penduduk di Banjarsari, yakni dengan beternak dan mengoptimalkan tanaman kakao. Namun, tanaman kakao tidak banyak diupayakan seperti di Banjararum karena lebih dari 40 persen wilayah Pagerharjo adalah lereng curam. Ketinggian tempat juga menjadi faktor pertumbuhan kakao kurang optimal di sini.

Joko kembali menyampaikan, cara yang efektif menurunkan kemiskinan sebetulnya berdasarkan strategi lokal yang dilakukan penduduk miskin itu sendiri. Hasil penelitian tersebut menunjukkan, bagaimana strategi rumah tangga miskin yang berbeda-beda karena adanya perbedaan kondisi geografis di tiap desa. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi lahan pertanian/kompas.com

*Artikel ini disarikan dari tulisan Agus Joko Pitoyo dan Muhammad Arif Fahrudin Alfana berjudul “Strategi Rumah Tangga Miskin Perdesaan Keluar dari Kemiskinan (Kasus Tiga Desa di Kulon Progo, DIY)” yang diterbitkan dalam Jurnal Populasi Volume 23 Nomor 2 2015