DEMOKRATISASI DESA: Kendala, Prospek, dan Implikasi Kebijakan

20 February 2003 - 19:57:59 | admin

“Semangat reformasi sudah merambah ke masyarakat pedesaan. Pada hari Kamis, 16 Januari 2003, penduduk Desa Keboromo (Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah) menggelar “pengadilan rakyat” terhadap kepala desa, sejumlah perangkat desa; ketua, wakil, dan sejumlah anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) yang didakwa terlibat penyalahgunaan uang ganti rugi tanah proyek jalan lingkar kota Tayu. Semua tersangka mengakui, dan tidak melakukan pembelaan sama sekali. Ketika rakyat menghendaki semua uang ganti rugi (sejumlah Rp 89,8 juta) harus dikembalikan paling lambat 20 Januari (hanya berselang 4 hari sejak pengadilan diadakan), para tersangka menyetujui begitu saja. Pada saat hari pengembalian tiba, para tersangka hadir lagi dan mengembalikan seluruh uang ganti rugi tanah proyek jalan lingkar. Uang sebanyak Rp 89,8 juta yang dibungkus dalam dua kantong plastik warna hitam dihitung ulang satu per satu, dan disaksikan secara langsung oleh warga desa” (Kompas, 25 Januari 2003).

Ada beberapa hal yang menarik untuk didiskusikan dari peristiwa di atas. Pertama, apakah peristiwa tersebut dapat atau pernah terjadi pada masa Orde Baru. Apakah kejadian itu menunjukkan gejala bangkitnya “kekuatan rakyat” desa atau “kedaulatan rakyat” desa. Dengan kata lain demokratisasi desa tengah berlangsung, yang dipicu oleh peristiwa reformasi politik nasional Mei 1998 dan diimplementasikannya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (dikenal sebagai undang-undang otonomi daerah) pada Januari 2001. Apa indikator berjalannya proses demokratisasi desa. Kedua, mengapa institusi Badan Perwakilan Desa (BPD), yang seharusnya memperjuangkan aspirasi warga desa dan mengawasi kinerja pemerintah desa, justru terlibat dalam tindak penyalahgunaan uang ganti rugi tanah yang dilakukan oleh kepala desa dan kawan-kawan. Apakah hal itu disebabkan karena BPD adalah lembaga politik desa (badan legislatif desa atau parlemen desa) yang didesain oleh negara. Ketiga, jika benar proses demokratisasi desa sedang berlangsung; bagaimana prospek ke depan, kendala-kendala apa yang menghadangnya, serta apa implikasi kebijakan yang dapat ditarik.

Untuk menjawab soal di atas, tulisan ini akan dibagi menjadi empat bagian yaitu: deskripsi gejolak masyarakat desa, terutama pada saat pemilihan kepala desa (Pilkades) pada masa Orde Baru, dan respon masyarakat desa atas diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah (khususnya dengan dibentuknya BPD) pada masa pasca Orde Baru. Pada bagian kedua akan didiskusikan indikator terbukanya ruang bagi dilangsungkannya proses demokratisasi desa (sebagaimana dilansir dalam UU No.22/1999 berikut aturan-aturan turunannya). Pada bagian ini juga akan dilakukan perbandingan pokok-pokok isi UU No.5/1979 tentang Pemerintahan Desa dengan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (khususnya tentang Desa, Bab IX, pasal 93- 111). Pada bagian ketiga dilakukan analisis atas berlangsungnya proses demokratisasi desa dari perspektif relasi negara dengan rakyat, untuk dapat dipetakan masalah-masalah dan prospek demokratisasi desa. Pada bagian terakhir akan dirumuskan implikasi kebijakan apa yang dapat ditarik dari berlangsungnya demokratisasi desa.


*Klik untuk mengunduh makalah: Seminar Bulanan S.318 – M. Syahbudin Latief | 20 Februari 2003