PSKK UGM Bersama ARI NUS Kembali Melakukan Studi Panel CHAMPSEA

25 July 2016 | admin
CPPS' News, Events, Media, Training

Yogyakarta, PSKK UGM – Bersama The Asia Research Institute, National University of Singapore, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan kembali melakukan Studi Child Health and Migrant Parents in South East Asia (CHAMPSEA) yang kedua. Studi CHAMPSEA berangkat dari situasi dimana para pekerja migran yang sebagian besar perempuan harus bepergian jauh serta meninggalkan sejumlah anggota keluarga, tak terkecuali anak-anak mereka.

Ada begitu banyak pekerja migran dari negara-negara pengirim di Asia Tenggara seperti Filipina, Indonesia, Thailand, maupun Vietnam. Sebagian besar dari mereka tetap rutin mengirimkan uang (remitansi) bagi sanak saudara di kampung halaman. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyebutkan, remitansi dari TKI sepanjang tahun 2015 bahkan mampu menembus angka Rp100 triliun, yakni mencapai 8,6 US Dollar atau setara dengan Rp119 triliun.

Meski rutin mengirimkan uang, kepulangan para pekerja migran cenderung jarang terjadi. Mereka bisa bepergian selama setahun, dua tahun bahkan lebih pada suatu waktu. Dampak multidimensi pada keluarga yang ditinggal inilah yang masih sedikit diteliti.

Dr. Lucy Jordan selaku manajer data dalam penelitian ini mengatakan, studi CHAMPSEA II dirancang untuk menghasilkan panel data dengan kualitas yang baik tentang dampak dari absennya orang tua karena harus bekerja ke luar negeri terhadap kesehatan serta kesejahteraan anak-anak.

“Proyek penelitian ini hendak melihat apakah ada dampak yang berbeda apabila yang absen adalah ayah saja, ibu saja, atau ayah dan ibu. Lalu, apakah yang ditinggalkan adalah anak perempuan atau anak laki-laki,” kata Lucy saat Pelatihan Asisten Lapangan Studi CHAMPSEA II di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Jumat (22/7) lalu.

Lucy menambahkan, tahapan survei CHAMPSEA II didesain untuk meneliti pertanyaan-pertanyaan, misalnya apakah migrasi dari satu atau kedua orang tua pada awal masa kecil anak akan berdampak pada kesehatan fisik dan/atau kesejahteraan psikologis anak-anak di anak usia tengah atau remaja muda? Lalu, apakah dampak tersebut positif atau negatif jika dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang orang tuanya tidak melakukan migrasi? Dan apakah migrasi dari satu atau kedua orang tua pada anak usia tengah akan berdampak pada pencapaian pendidikan dan pekerjaan pada masa remaja muda, serta beberapa pertanyaan lainnya.

“Pada proyek penelitian ini juga ada tahapan kualitatif di saat pembicaraan lanjutan dengan rumah tangga sampel. Topik-topik yang telah ditentukan dalam temuan-temuan kuantitatif nantinya akan dieksplorasi lagi secara lebih mendalam,” ujar Lucy lagi.

Sebelumnya, studi CHAMPSEA I dilakukan pada 2008 di empat negara, yakni Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Studi di masing-masing negara ini setidaknya memakan waktu sekitar tiga bulan untuk pengumpulan data di lapangan. Sekitar seribu rumah tangga di masing-masing negara berhasil diwawancarai. Berbeda dengan studi sebelumnya, CHAMPSEA II hanya dilakukan di Filipina, yakni di Laguna dan Bulacan, serta di Indonesia, yakni di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Pakar Migrasi PSKK UGM, Dr. Sukamdi, M.Sc. yang juga berlaku sebagai koordinator penelitian CHAMPSEA di Indonesia (In-Country Coordinator) dalam kesempatan yang sama menyampaikan, untuk wilayah Jawa Timur dipilih Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Tulungagung. Kemudian untuk wilayah Jawa Barat dipilih Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Sukabumi. Secara garis besar, Jawa Timur dipilih sebagai wilayah penelitian karena memiliki sejarah cukup panjang dalam migrasi, sementara Jawa Barat relatif lebih pendek.

Sukamdi menambahkan, di Ponorogo dan Tulungagung kita bisa mendapatkan data yang lebih variatif. Mengapa? Pertama, karena daerah tujuan para pekerja migran dari sana relatif tersebar dan bervariasi. Ada yang ke Taiwan, Malaysia, Arab Saudi, Hong Kong, Singapura, dan negara-negara tujuan lainnya. Kedua, pekerja migrannya pun bervariasi dalam arti, laki-laki maupun perempuan sama-sama banyak yang melakukan migrasi.

“Terutama Ponorogo ya, sejarah migrasinya itu bahkan sudah terjadi sejak masa sebelum kemerdekaan Indonesia. Tradisi migrasi sudah begitu melekat pada masyarakat Ponorogo dan sudah sampai generasi keempat. Maka, muncul kemudian yang dinamakan intergenerational migration,” jelas Sukamdi.

Untuk Sukabumi dan Tasikmalaya merupakan pilihan wilayah penelitian yang relatif baru. Variasi daerah tujuan migrasi memang tidak sevariatif wilayah-wilayah asal migran di Jawa Timur. Sebagian besar pekerja bermigrasi ke Arab Saudi, meski saat ini sudah mulai bervariasi dengan bergeser ke negara tujuan seperti Taiwan dan Hong Kong. Selain itu, karena daerah tujuannya ke Arab Saudi, maka sudah bisa diperkirakan bahwa sebagian besar pekerja migran adalah perempuan dan bekerja sebagai domestic worker atau pembantu rumah tangga (PRT). [] Media Center PSKK UGM