PERS RILIS: Menyoal Kebijakan Perlindungan Anak di Indonesia

09 May 2014 | admin
Media, Press Release

Yogyakarta, PSKK UGM – Hukum maupun kebijakan di Indonesia seharusnya diperkuat untuk mencegah kasus-kasus kekerasan, eksploitasi, bahkan tindak penelantaran terhadap anak. Sayangnya, selama ini hal tersebut belum sepenuhnya dilakukan, terutama oleh pemerintah.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Pakar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Dr. Agus Heruanto Hadna dalam Diskusi Internal Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM “Menilik Kebijakan dan Sistem Perlindungan Anak”, Kamis (8/5). Acara yang berlangsung di Ruang Seminar Gedung G.7 Bulaksumur tersebut dihadiri oleh seluruh staf dan asisten peneliti PSKK UGM.

Tak dapat dipungkiri bahwa penanganan kasus kekerasan terhadap anak-anak belum serius dilakukan oleh pemerintah. Koordinasi, baik antara kementerian terkait, kementerian dengan struktur di wilayah provinsi, kabupaten/kota, bahkan dengan lembaga-lembaga pemerhati dalam bidang perlindungan anak dan perempuan, belum terjadi.

“Itulah salah satu kelemahan di Indonesia, kebijakannya masih sangat sektoral. Masing-masing sektoral mempunyai kebijakan sendiri, dan satu sama lain seringnya ga gathuk, tidak nyambung,” ujar Hadna.

Kasus-kasus kekerasan terhadap anak belakangan ini banyak terungkap kembali. Ada yang terjadi di dalam rumah, di sekolah, bahkan di ruang-ruang publik. Iqbal Saputra, Renggo Khadafi, maupun seratus nama anak-anak korban paedofil di Sukabumi, Jawa Barat mengingatkan kita lagi bahwa anak-anak belum terlindungi. Hak mereka sebagai anak tercerabut karena kelalaian dan ketidakpedulian.

Sepanjang 2013 saja Komisi Nasional Perlindungan Anak atau Komnas Anak menerima pengaduan 3.023 kasus kekerasan anak. Angka ini disebut naik, bahkan hingga 60 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 1.383 kasus. Dari jumlah tersebut, 58 persen merupakan kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak.

Banyak pendapat mengatakan angka kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun terus meningkat. Bagi Hadna, agak sulit juga jika menyatakan demikian. Praktik-praktik eksploitasi sistematis yang berakibat buruk bagi perkembangan anak sesungguhnya telah terjadi sejak dulu.

Studi PSKK UGM yang dimulai pada 2001, misalnya, menunjukkan bahwa selama kurun waktu delapan tahun (1996-2004) terdapat 25 paedofil asal Amerika Serikat, Australia, Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda yang beroperasi di Bali. Untuk mengurangi perlawanan dan memperlancar operasi, para paedofil membentuk jaringan yang terstruktur rapi dan tersembunyi. Beberapa, bahkan melibatkan orang tua anak, warga desa, dan paedofil lain yang menjadi sekutunya.

Gerak zaman dapat menjadi hal yang membedakan. Hadna menambahkan bahwa saat ini peran media massa sangatlah massif dalam memberitakan kasus-kasus tersebut. Akses informasi yang lebih terbuka menjadikan isu menyebar lebih cepat dan luas. “Agak sulit ya jika kemudian disebut kekerasan terhadap anak terjadi kenaikan. Angka yang pasti menunjukkan itu hingga kini belum pernah terungkap, padahal data tersebut sangatlah diperlukan bagi perencanaan kebijakan yang lebih tepat.”

Selama ini Hadna melihat penerapan pola kebijakan di Indonesia selalu berdasarkan pembuktian. Akhirnya untuk kasus semacam ini, seolah-olah perlu ada yang menjadi korban dulu sebelum disusun aturan dan kebijakan tentang itu. Aspek-aspek pencegahan kerap terabaikan dalam penyusunan peraturan dan kebijakan tentang perlindungan anak.

Pendidikan Seks bagi Anak

Salah satu aspek pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan pendidikan seks bagi anak. Anak-anak perlu diajarkan bagaimana cara menghargai tubuhnya sendiri maupun respek terhadap orang lain. Namun hal ini tampaknya masih sulit dilakukan. Menteri Pendidikan, Muhammad Nuh, menilai pendidikan seks masihlah tabu di Indonesia. Menurutnya, lebih baik memprioritaskan pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama di dalam kurikulum pengajaran.

“Pendidikan seks bagi anak dan pendidikan budi pekerti kan, dua hal yang berbeda. Saya paham memang ada kelompok-kelompok tertentu yang belum bisa memahami, bahkan cenderung resisten terhadap ini. Pendidikan seks diartikan dalam makna porno, tabu, konotasinya selalu negatif. Namun pemerintah kan, tidak bisa begitu saja memutuskan bahwa pendidikan seks bagi anak tidak dibutuhkan,” ujar Hadna lagi.

Persoalannya adalah bagaimana metode pendidikan seks yang tepat, yang sesuai dengan setiap perkembangan umur anak, serta dinilai tidak melanggar norma-norma masyarakat maupun agama. “Tugas pemerintah dalam hal ini kan, harus mencari model atau metode yang cocok. Ada banyak lembaga, yayasan yang fokus terhadap anak dan perempuan, lalu tokoh agama serta tokoh masyarakat yang bisa diajak untuk duduk bersama mendiskusikan hal itu.”

Bukan saatnya lagi pemerintah mengambil sikap diam dan sekadar menjadi pemantau dalam perkembangan kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Sikap ini justru tidak efektif dalam mengungkap persoalan kekerasan yang dihadapi anak. Dalam hal kebijakan pun, bukan saatnya lagi kebijakan incremental atau kebijakan “tambal sulam”, tidak berdasar pada identifikasi persoalan yang sesungguhnya, [] Media Center PSKK UGM