Menjadi Modern, Semakin Serba Boleh | Oleh: Masri Singarimbun

09 December 2014 | admin
Essay & Opinion, Media

Beberapa tahun lalu di kapal terbang saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu yang berdomisili di Jakarta. Katanya, anaknya (perempuan) bermaksud melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta tapi dia tidak dapat menyetujuinya. Ternyata, dia amat terpengaruh bahwa Yogyakarta merupakan kota “kumpul kebo”. Maklumlah, penelitian Kelompok Studi Dasakung (1984) yang menghebohkan itu mengungkapkan kisah 29 pasangan “kumpul kebo” di Yogyakarta, yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, dan karyawan.

Kepada ibu tersebut saya jelaskan bahwa situasi Yogyakarta kiranya tidak begitu mengkhawatirkan. Memang perlu waspada, tetapi tidak perlu terlalu takut. Namun, pendiriannya sudah kukuh: anaknya melanjutkan studi di kota lain.

Mungkin ibu itu akan merasa lebih ngeri kalau mendengarkan tentang hasil angket seks remaja yang menghebohkan itu, yang dilaksanakan oleh pelajar Sulistya Eka di sekolahnya, SMP 10, Yogyakarta. Hasil angket keluar pada Minggu pagi tanggal 9 Januari 1983. Dikatakan bahwa kasus tersebut “Merupakan Tamparan bagi Yogyakarta”. Sebagai akibatnya, Sulistya dipindahkan ke sekolah lain. Angket itu menunjukkan bahwa bagi 462 pelajar yang mengisi angket sebanyak 31,6 persen melakukan ciuman pada waktu pacaran, 21,6 persen meraba-raba organ tertentu milik pacarnya, dan 12,7 persen mengaku pernah bersenggama dengan pacarnya itu.

Sesunggunya, dimana pun anak ibu tersebut melanjutkan studi—termasuk di Jakarta—risiko penyimpangan seks selalu ada. Risikonya lebih gawat lagi di negara-negara barat. Konon, menurut survey tahun 1988, pada usia 15-19 tahun sebanyak 51,5 persen gadis Amerika Serikat sudah pernah berhubungan seks. Sebelumnya, pada 1970 proporsi yang pernah berhubungan seks baru 26,6 persen (Alexander dan Guyer, 1993).

Praktik kumpul kebo juga terus meningkat di berbagai negara barat. Sebuah survei di Melbourne, Australia menunjukkan bahwa mereka yang kawing pada ahun 1968-1972 sebanyak 14 persen melakukan kumpul kebo sebelum menikah; selanjutnya studi yang diadakan pada tahun 1982 menunjukkan bahwa proporsi yang kumpul kebo sebelum nikah sudah menjadi 40 persen. Jadi sudah merupakan gaya hidup baru.

Karena itu, ibu itu perlu maklum bahwa mengirim anak ke perguruan tinggi berimplikasi bahwa perkawinannya tertunda-tunda, mungkin sampai dia berumur 25 tahun atau lebih. Itu berarti bahwa, dari sudut kehidupan seks, semakin besar kesenjangan biososial (bio-social gap). Bertambah besar kesenjangan antara kematangan biologis dengan pernikahan, yakni pemuasan nafsu seks yang secara sosial direstui.

Apabila usia kawin rendah—katakanlah wanita kawin pada usia 14 -15 tahun—maka kesenjangan biososial kecil, hanya beberapa tahun sejak mens pertama. Malah ada yang kawin pada usia yang lebih rendah, sebelum mengalami menstruasi, sehingga hubungan seks perlu ditunda. Dalam situasi seperti itu, keperawanan tidak membawa masalah. Orang tua tidak perlu mengkhawatirkan keperawanan yang terenggut sebelum waktunya, yang dapat mencoreng muka keluarga.

Dari sudut program Keluarga Berencanaa, usia kawin rendah berkorelasi dengan beranak banyak. Malah apa yang digariskan oleh Undang-Undang Perkawinan dianggap terlalu rendah, yakni usia kawin minimum 16 tahun untuk wanita, dan 19 tahun untuk pria. Di dalam berbagai kampanye, secara informal dicanangkan usia kawin minimum 20 tahun untuk wanita, dan 25 tahun untuk pria.

Begitulah, bertambahnya kesenjangan biososial dipuja-puji semua pihak. Sementara itu rangsangan-rangsangan seks bertambah semarak. Tambah bertubi-tubi. Tiada hari tanpa rangsangan seks dari berbagai media; komersialisasi seks merajalela. Kehidupan modern yang menjadi acuan kita adalah konsumtif, juga dari sudut seks.

Di pihak lain, menurut Vance Packard, teknologi kontrasepsi dan Keluarga Berencana membuka satu dimensi baru dalam perilaku seks. Kalau sejak dahulu kala fungsi utama dari hubungan seks adalah prokreasi, yakni untuk kehamilan istri dan kelahiran anak, maka kini amat ditonjolkan fungsi rekreasi dari hubungan seks. Nikmatilah hubungan seks dan mari kita hindarkan kehamilah dengan kontrasepsi, begitu inti pesan program Keluarga Berencana.

Pesan tersebut mempunyai dampak yang luas dan tidak terbatan pada mereka yang berstatus kawin. Sejalan dengan itu mobilitas penduduk meningkat, kontrol sosial melemah, dan individualisme bertambah kuat.

Remaja menghadapi dilema yang serius. Menurut Elise Jones, dkk: Film, musik, radio, bacaan, dan TV mengajarkan kepada mereka bahwa seks itu romantis, merangsang, dan menggairahkan. Namun, pada waktu yang bersamaan disampaikan pesan bahwa gadis yang baik seharusnya berkata “tidak”.

Apakah ada yang khusus yang perlu dirisaukan tentang Yogyakarta? Barangkali ada, barangkali tidak ada. Sama-sama kita maklumi bahwa kita bersama remaja kita sudah semakin serba boleh (permisif). Apa yang dahulu tidak boleh, sekarang sudah boleh. Pergi berduaan keluar kota sudah biasa. Film adegan ranjang sudah barang biasa. Rangkulan di atas motor sudah lumrah, sesuai dengan desain sepeda motor. Muda-mudi sudah tahu berdisko, menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman.

Sejalan dengan kemajuan zama dan komersialisasi pondokan, keadaan sebagian pondokan putri di Yogyakarta memang sudah mengalami perubahan. Sudah bertambah banyak tempat kos yang cukup bebas, dan tidak diawasi pemilik pondokan. Norma-norma baru berkembang, yakni pacar diterima di kamar, bukan lagi di ruang tamu.

Kita dapat berspekulasi bahwa situasi seperti itu dapat berakibat dorongan seks tidak terkendalikan. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa proporsi besar hubungan seks pertama di luar nikah adalah dorongan seketika. Tidak direncanakan sebelumnya. Ada setan lewat, karena itu waspadalah.

Di pihak lain, keadaan bebas di rumah pondokan nampaknya mempunyai daya tarik tersendiri. Di dalam situasi persaingan antara tempat pondokan dewasa ini banyak gadis memilih tempat kos yang lebih bebas. Kalau ketat mengawasi gadis-gadis kos, bisa tempatnya tidak laku. Oleh karena itu, induk semang ikut-ikutan serba boleh. Malah ada asrama yang dihuni oleh perek alias perempuan eksperimen (Bernas, 3 Desember 1994).

Hal penting lainnya adalag sikap muda-mudi mengenai hubungan seks sebelum kawin, dan sikap mengenai apa yang boleh dilakukan waktu pacaran. Apakah boleh ciuman, dan apakah boleh berhubungan seks dengan pacar? Sebuah penelitian Proyek Sahabat Remaja (1987) di empat kota menunjukkan bahwa terdapat variasi dari tempat ke tempat.

Perihal berciuman, responden (remaja) yang mengatakan “boleh” sebesar 58,5 persen untuk Kupang, 43,2 persen untuk Medan, 33,8 persen untuk Surabaya, dan 27,6 persen untuk Yogyakarta. Selanjutnya, perihal berhubungan seks dengan pacar, responden yang mengatakan “boleh” sebesar 9,6 persen untuk Yogyakarta, 9,5 persen untuk Kupang, 3,2 persen untuk Medan, dan 2,6 persen untuk Surabaya.

Dengan demikian, dari sudut sikap mengenai hubungan seks, responden Yogyakarta dan Kupang relative lebih permisif daripada Surabaya. Penelitian yang sama mengungkapkan pula bahwa dari sudut “pernah” berhubungan seks, Kupang menempati rangkin tertinggi, yakni 13,1 persen sehingga disimpulkan bahwa responden Kupang termasuk yang paling permisif. Yogyakarta menempati ranking kedua, sebesar 8,5 persen. Sulit diterangkan bahwa responden dari kota kecil Kupang, dan Yogyakarta lebih permisif daripada remaja metropolitan Surabaya.

Serentetan penelitian lainnya juga mengagetkan hasuknya. Penelitian Toto Purwanto di Bengkulu mengungkapkan bahwa lebih dari 27 persen pelajar telah berhubungan seks. Ini menghebohkan, dan dituduh kurang terpercaya karena hanya meliputi 118 responden di Kecamatan Curup, Rejanglebong, dan Kodya Bengkulu.

Hasil penelitian (1992) tim Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran di Bandung juga mengerutkan dahi. Cukup besar proporsi hubungan seks pranikah: sebanyak 21,7 persen di Bandung, 26,5 persen di Sukabumi, 30,9 persen di Bogor, dan 31,6 persen di Cirebon (Hai, 29 November-5 Desember 1994).

Angka-angka yang dikemukakan dari hasil penelitian Universitas Atmajaya Jakarta bulan Oktober 1994 untuk beberapa sekolah adalah lebih rendah tetapi juga sangat mengejutkan. Sebanyak 9,9 persen dari 558 siswa SMP, SMA, dan Sekolah Kejuruan telah melakukan hubungan seks dengan teman sebaya, setelah menonton film porno (Hai, ibid.).

Di sampaing angka-angka itu, berita-berita Koran perihal perilaku seks adakalnya mengusik hati nurani kita. Seperti pernah diberitakan di Koran Kedaulatan Rakyat (22 November  1994) bahwa seorang mahasiswa dari Solo opname di PKU Muhamadiyah Delanggu, setelah melahirkan di asramanya di Bibis Surakarta tanpa ada yang menolong. Pacarnya yang bertanggung jawab sedang tugas belajar di Meda. Pasa saat opname itu ditemukan seorang bayi yang sudah meninggal di dalam tas kuliah yang dia bawa. Menurut dia, bayi tersebut sempat diberi minum susu dengan menggunakan kapas. Ternyata setelah melahirkan pagi itu, dia bergegas meninggalkan asrama supaya tidak diketahui kawan-kawan seasrama.

Berita lainnya (Bernas, 24 November 1994) yang cuku seram adalah tertangkapnya 16 muda-mudi dalam keadaan bugil di dua diskotek di Jakarta. Sungguh menjadi moder, semakin serba boleh []

*Sumber: Idi Subandy Ibrahim (ed.). Buku Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. 2004. Jalasutra. | Ilustrasi remaja: cover film Cinta Remaja