MEDIA DARLING DAPAT MENCIPTAKAN CITRA CALON Oleh: Muhadjir Darwin

18 October 2013 | admin
Essay & Opinion, Media

Gaya perpolitikan di Indonesia pasca reformasi memang berbeda dengan gaya-gaya sebelumnya. Sejak pemilihan presiden dan kepala daerah dipilih oleh rakyat, mereka yang akan mencalonkan diri atau dicalonkan berusaha mengikat hati rakyat dengan citra yang positif. Jika perlu menyulap dirinya menjadi orang yang disukai rakyat. Mereka tidak sendirian, kadang merangkul penyelenggara survei dan juga merangkul media. Semuanya untuk meningkatkan citra dirinya.

Untuk menanggapi hal ini, Luthfi Effendi mewawancarai Prof. Dr. Muhadjir Darwin (Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada) yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Demikian pemikirannya:

Dalam pemilihan presiden atau kepala daerah di Indonesia, kenapa yang sering terpilih orang yang mempunyai citra ketimbang kemampuan dan keahlian?

Pemilihan presiden maupun kepala daerah yang memilih adalah rakyat secara langsung, jadi mereka memilih berdasarkan like and dislike (senang dan tidak senang). Karenanya, citra calon akan sangat memengaruhi keputusan pemilih untuk memilih dan tidak memilih. Semakin citranya tinggi maka magnit untuk dipilih juga sangat tinggi, maka di sinilah timbul politik pencitraan itu.

Berbeda dengan pemilihan hakim agung misalnya. Mereka dipilih berdasarkan kemampuan, keahlian serta moralitasnya. Karenanya, untuk pemilihan yang satu ini juga melalui seleksi, melalui ujian, melalu fit proper test sebelum dipilih. Demikian juga jabatan lain yang berdasarkan keahlian dan profesionalitas juga akan dipilih melalui ujian dan seleksi.

Apakah survei-survei yang diadakan selama ini mampu meningkatkan citra calon pemilih?

Survei semata sangat tidak berpengaruh terhadap peningkatan citra calon. Tetapi pemuatan hasil survei di media, dan komentar-komentar yang ada itulah yang akan memengaruhi pembaca dan kemudian meningkatkan citra calon yang diuntungkan dari hasil survei tersebut.

Dalam beberapa kasus, kenapa partai sering membiayai survei? Apakah survei juga bisa dipesan?

Secara teori, hasil survei itu bisa dipesan. Karena sebetulnya hasil survei kan tergantung dengan inputnya. Jika input berubah, maka hasilnya juga akan berubah. Tinggal permainan di dalam komputerais saja, mau hasil yang mana? Karenanya, untuk melihat hasil survei perlu melihat kredibilitas penyelenggara survei.

Bahkan kadang instansi yang terpercaya dan sudah terbiasa survei pun bisa melakukan kesalahan. Ini terjadi penelitian di bidang Keluarga Berencana di Indonesia yang menunjukkan adanya kegagalan. Seorang peneliti asing dari Australia tak percaya dengan hasil tersebut kemudian melihat data penelitian dan cara pengolahannya. Ternyata ada kesalahan dalam pembagian. Pembagiannya dengan data yang kecil padahal, harus dengan data yang besar. Maka, hasilnya juga beda, dan hasilnya masih menunjukkan keberhasilan KB saat itu.

Lebih-lebih jika pelaku survei bisa dibeli, maka hasil pesanan pasti akan terwujud. Bahkan, dalam survei hitung cepat dalam suatu pemilihan juga bisa dipesan, tetapi untuk ini juga harus membeli orang KPU yang menentukan dalam perhitungan hasil pemilihan. Tinggal otak-atik input saja menyesuaikan dengan hasil survei cepat.  Itu mungkin, tetapi yang terjadi sesungguhnya saya tidak tahu karena tidak punya bukti yang sampai ke arah itu.

Lalu kalau hasil survei tidak terlalau berpengaruh, sebetulnya apa yang paling berpengaruh terhadap peningkatan citra calon?

Media! Itu yang sangat memengaruhi citra calon. Media Darling, siapa yang menjadi kecintaan media, siapa yang akan menjadi kekasih media, itu yang akan terangkat citranya. Karena media hanya akan memberitakan sisi positif si calon, sisi negatifnya (kalau ada) akan disembunyikan. Kebukankah kekasih itu akan selalu melihat sisi positif kekasihnya dan buta terhadap sisi negatifnya jika ada.

Bahkan jika ada orang lain yang menyebutkan sisi negatif dari kekasihnya maka kekasih tidak peduli dan bahkan bisa menganggapnya sebagai fitnah. Jika perlu, media tersebut akan melawan bersama pendukung yang lain. media inilah yang menyebabkan hasil survei yang sangat signifikan dalam rangka mengangkat calon yang dikasihinya.

Apakah dalam perpolitikan sekarang ini betul-betul terjadi?

Fenomena Jokowi misalnya. Saat ini Jokowi itu betul-betul menjadi kekasih media (media darling). Setiap hari, berita tentang Jokowi selalu muncul di media. Baik berita positif atau sekedar keberadaannya selalu menghiasi media, baik yang cetak maupun elektronik. Tidak ada berita negatif yang muncul dalam pemberitaannya. Citra positif ini masih didukung oleh pembicaraan di media sosial.

Karenanya, ketika Pak Amien berniat untuk mengingatkan Jokowi, oleh mereka dianggap menyerang. Sehingga ini menjadikan citra Jokowi naik lagi, terlebih tanggapannya terhadap hal ini tidak melawan. Fenomena ini mengingatkan kita terhadap fenomena SBY tatkala “diserang” Taufik Kiemas (suami Megawati), ketiba SBY menanggapinya dengan santun maka citra SBY waktu itu akan mencalonkan diri sebagai presiden menjadi terangkat dan mendapatkan simpati. Rakyat kita memang senang dengan pemimpin yang tidak suka konflik.

Jokowi memang cukup berprestasi, tetapi kebaikan gaya kepemimpinan Jokowi dalam menata Surakarta dalam satu setengah periode itu tentu belum bisa diklaim lebih unggul dari Walikota Surabaya Tri Rismaharini atau dengan Herry Zudianto yang dua periode penuh menata Yogyakarta. Kenapa mayoritas rakyat Indonesia menganggap Jokowi satu-satunya pejabat yang hebat?

Ya betul, bahkan ada satu walikota lagi yang kebijakan publiknya sama hebatnya dengan Jokowi, yaitu Jarot (Walikota Blitar), mereka sama-sama dari PDIP. Ini masalahnya bukan hebat dan kalah hebat, tetapi masalah media darling. Pemberitaan Jokowi melampaui pejabat-pejabat lokal yang lain, jika kehebatan pejabat-pejabat yang lain hanya dikenal di tingkat lokal tetapi kehebatan Jokowi telah dikenal di seluruh nasional karena telah disebarkan oleh media nasional.

Mereka itu, yang hebat-hebat itu, kurang mampu menggunakan media atau memang tidak mau menggunakan media guna pencitraan dirinya. Jokowi mampu menyihir media sehingga media-media itu menjadi media darling bagi dirinya. Ini yang terus akan mengangkat Jokowi jika tidak melakukan kesalahan yang fatal. Media darling ini akan selalu sukarela mengkampanyekan citra Jokowi.

Apakah tidak ada perlawanan calon-calon yang lain dalam pengangkatan citra ini?

Tentu ada, calon-calon lain juga melakukan tindakan untuk mengangkat citra. Baik itu melakukan kampanye di media atau melalui tindakan nyata di masyarakat. Tetapi tentu perlawanan tidak bisa dilakukan secara frontal karena jika itu yang dilakukan pada saat ini maka bukan Jokowi yang melawan tetapi pendukung-pendukung Jokowilah yang melawan. Dan ini tentu akan lebih meningkatkan citra Jokowi. Misalnya apa yang dilakukan Prabowo saat ini yang langsung terjun ke Malaysia dan menyewa penasehat hukum untuk membela warga negara Indonesia yang sedang terkena perkara di negeri jiran. Langkah ini merupakan langkah positif yang akan meningkatkan citranya. Namun, ada juga langkah-langkah yang membuat calon lebih dikenal tetapi tidak mengangkat citranya seperti yang dilakukan ARB karena citra negatif di Kasus Lapindo Sidoarjo. [Lut]

(Dimuat di rubrik “DIALOG”, Majalah Suara Muhammadiyah, Edisi No. 20 TH KE-98, 16 – 31 Oktober 2013)

*sumber foto: merdeka.com