YOGYA (KRjogja.com) – Migrasi internasional yang oleh banyak media massa kerap dimaknai sebagai bentuk eksploitasi pekerja dengan berbagai cerita pilu, ternyata mempunyai makna yang berbeda di Ponorogo. Persepsi masyarakat Ponorogo tentang pekerja migran adalah positif. Tak heran, karena bekerja di luar negeri telah lama ada dan dilakukan antargenerasi.
“Masyarakat menyatakan, tidak ada satu pun dusun di Ponorogo yang tidak mempunyai pekerja migran. Menjadi buruh migran di luar negeri telah menjadi gaya hidup masyarakat,” kata Dr. Agus Joko Pitoyo, M.A., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada saat Seminar Diseminasi Hasil Penelitian “Migrating out of Poverty” di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Selasa (3/11/2015).
Joko menambahkan, migrasi internasional di Ponorogo bukanlah fenomena baru, tetapi perilaku hidup masyarakat yang telah berlangsung sejak 500 tahun yang lalu. Intensifnya migrasi internasional terbentuk melalui proses internalisasi pada individu semenjak dia kecil, terus berkembang hingga dewasa, bahkan masa tua, sebagai suatu siklus hidup (life cycle). Bagi masyarakat Ponorogo, bekerja ke luar negeri adalah pekerjaan yang diimpikan dengan berbagai variasi negara tujuan.
Dewasa ini, kebijakan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri seirama dengan momentum Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA 2105. Adanya MEA 2015 menuntut setiap negara-negara ASEAN, tak terkecuali Indonesia, untuk membuka peluang pasar tenaga kerja yang terbuka dan luas. Pekerja migran dari negara ASEAN lainnya bisa bekerja di Indonesia, begitu pula sebaliknya. Namun demikian, jauh sebelum MEA 2015 dicanangkan, masyarakat Ponorogo sudah lebih dahulu menjelajah dunia.
Lebih lanjut, penelitian “Migrating out of Poverty” yang merupakan bentuk kerja sama PSKK UGM dengan Asia Research Institute, National University of Singapore mendapatkan beberapa temuan. Salah satunya adalah soal remitansi atau uang kiriman ke negara asal.
Dr. Silvia Mila Arlini dari Asia Research Institute, NUS dalam kesempatan yang sama menyampaikan, migran perempuan cenderung mengirimkan lebih banyak uang kepada rumah tangga mereka. Berdasarkan jenis pekerjaan, migran perempuan yang bekerja di sektor domestik cenderung mengirimkan uang lebih banyak dibandingkan dengan tiga pekerjaan lainnya yang didominasi oleh laki-laki, misalnya di sektor pertanian, konstruksi, dan produksi.
Sebagian besar remitansi digunakan untuk mencukupi keperluan sehari-hari (35 persen) dan juga untuk biaya pendidikan dan keperluan anak-anak (26 persen). Tingginya penggunaan uang kiriman untuk kepentingan sosial bukanlah hal yang mengejutkan karena itulah motivasi utama mereka bermigrasi untuk bekerja. Hanya ada sedikit rumah tangga yang menggunakan uang kiriman untuk investasi fisik seperti lahan pertanian, deposito bank, ternak, alat-alat pertanian maupun bisnis. [] Danar Widiyanto (*/R-3)
*Sumber: KR Online