Yogyakarta – Selain menyebabkan masalah krisis kesehatan dan ekonomi global, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) mengingatkan bahwa pandemi COVID-19 juga dapat menimbulkan krisis pangan dunia. Menurut FAO, krisis pangan diperkirakan mulai terasa pada Mei-Juni 2020, bahkan kemungkinan akan berlanjut hingga dua tahun ke depan menjelang situasi global kembali normal.
Untuk mendukung swasembada pangan di era COVID-19, masyarakat perkotaan dapat memanfaatkan berbagai model pertanian kota (urban farming), seperti optimalisasi lahan atau ruang terbuka dengan membuat kebun komunitas, kebun atap atau kebun vertikal. Selain itu, pengembangan model urban farming di lahan terbatas juga dapat dilakukan, seperti vertikultur, hidroponik, dan akuaponik.
Sebagai lembaga rujukan penelitian di bidang kependudukan dan kebijakan, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM selalu berupaya membumikan wacana yang dibangunnya menjadi tindakan praktis dan strategis yang paling dibutuhkan dalam menghadapi situasi krisis.
Dalam menghadapi krisis pangan di tengah pandemi COVID-19, keluarga besar PSKK UGM membuat gerakan berkebun mandiri di kediaman masing-masing. Misalnya peneliti sekaligus manager media dan publikasi PSKK UGM, Hakimul Ikwan yang membuat kebun dengan memanfaatkan sistem urban farming (vertikultur, hidroponik, dan akuaponik) di pekarangan rumahnya.
Hakim memaparkan, sejauh ini ia telah menanam berbagai macam sayuran seperti bayam, kangkung, dan sawi. Selain itu, untuk mendukung swasembada pangan, Hakim juga membuat kolam ikan sederhana untuk budidaya berbagai jenis ikan air tawar seperti nila, lele, dan gurame.
Budidaya ikan air tawar juga dilakukan Kepala PSKK UGM, Agus Joko Pitoyo dengan membuat kolam ikan di belakang rumahnya. Selain itu, Joko juga menanam ubi-ubin seperti ketela sebagai salah satu upaya mendukung ketahanan pangan.
Hal serupa dilakukan Citra Sekarjati (asisten peneliti PSKK UGM) yang membuat vertikal garden di dinding rumahnya. Selain menanam berbagai sayur-mayur, Citra mengungkapkan ia senang menanam daun mint karena mengandung beragam manfaat untuk kesehatan. Kemudian ada Sri Purwaningsih (peneliti PSKK UGM) yang menanam cabai dengan media pot di teras rumahnya dan Setiadi (peneliti PSKK UGM) yang berkebun sayur bayam dengan media polibek.
Untuk mendukung ketahanan pangan di wilayah perkotaan (urban farming) kita dapat mencoba menanam sayur-mayur dataran rendah seperti kangkung dan bayam. Perawatan keduanya tidak terlalu sulit dan relative cepat panen. Kangkung dan bayam biasanya siap panen pada umur 21-25 hari.
Selain kedua sayur tersebut, dilansir tirto.id, komunitas pangan lain yang bisa ditanam secara swadaya adalah tomat dengan masa panen 60 hari, cabai 70 hari, umbi-umbian 80 hari, timun 75 hari, terong 90 hari, kemudian sawi dan caisim yang siap dipanen setelah 40 hari setelah masa tanam. Selain itu, berkebun untuk konsumsi pribadi dapat menghemat belanja sayur dan biaya transportasi hingga 50-60 persen.
Penulis: Nuraini Ika | Editor: Rinta Alvionita