Yogyakarta, PSKK UGM – D.I. Yogyakarta, selain dijuluki sebagai pusat kebudayaan dan pusat pendidikan, juga dikenal dengan kekayaan pesona alam dan kulinernya. Oleh sebab itu, tidak heran jika daerah ini menjadi salah satu destinasi wisata yang ramai dikunjungi, baik oleh wisatawan dalam negeri maupun luar negeri, setiap tahunnya. Dinas Pariwisata D.I. Yogyakarta mencatat, sebelum pandemi COVID-19 atau pada tahun 2019, pertumbuhan kunjungan wisatawan ke D.I. Yogyakarta meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar 15,15 persen.
Yogyakarta dengan pesona kulinernya memiliki salah satu oleh-oleh andalan yang paling sering diincar oleh wisatawan, yaitu bakpia. Rata-rata wisatawan pasti membawa oleh-oleh bakpia ketika kembali ke daerah asalnya. Bakpia merupakan kue yang terbuat dari campuran kacang hijau dengan gula yang dilapisi tepung dan dibentuk bulat pipih, kemudian dipanggang. Menilik sejarahnya, bakpia dapat dikatakan sebagai wujud akulturasi budaya Tiongkok dan Yogyakarta. Pada tahun 1940-an, bakpia dibawa oleh para imigran Tionghoa yang menempati daerah Pathuk (Ameer, dalam Nihayati, 2020). Di Tiongkok, bakpia identik dengan kue berisi daging babi. Namun, karena mayoritas warga di Indonesia beragama Islam dan tidak memakan daging babi, sehingga dibuatlah kue berisi kacang hijau (Eriyanto, 2018).
Keluarga-keluarga Tionghoa biasanya menikmati bakpia sebagai kudapan keluarga (Nihayati, 2020). Namun, pada tahun 1930 terjadi depresi ekonomi di Hindia-Belanda (baca: Indonesia), sehingga beberapa keluarga Tionghoa tersebut menjual bakpia untuk menambah penghasilan mereka (Nihayati, 2020). Lambat laun, pada tahun 1980-an industri-industri rumah tangga yang menjual bakpia mulai bermunculan. Hal ini ditandai dengan banyaknya bakpia yang dijual dengan merek menyesuaikan nomor rumah produsen bakpia. Tahun 1992 menjadi puncak pesatnya perkembangan industri bakpia mulai dikenal sebagai oleh-oleh khas D.I. Yogyak.
Seiring dengan berkembangnya waktu, varian rasa bakpia pun berevolusi. Bakpia tempo dulu biasanya memiliki varian rasa kacang hijau dan kumbu hitam. Sementara saat ini, sudah banyak bakpia yang berisi coklat, keju, kacang, green tea, coffee, buah-buahan, dan sebagainya. Bahkan, saat ini ada Bakpia Tugu yang bentuknya sangat berbeda dari bakpia tempo dulu. Bakpia ini merupakan bakpia kukus berbentuk seperti bakpao mini dengan isian rasa kacang hijau, coklat, keju, brownies coklat, dan sebagainya yang dapat meleleh di mulut.
Anak muda sekarang menyebut Bakpia Tugu ini dengan sebutan bakpia “zaman now”. Bakpia ini pun tidak kalah laris dibandingkan dengan bakpia generasi sebelumnya. Bahkan, di salah satu tokonya yang terletak di jalan Kaliurang, sering terjadi antrean pengunjung dari luar kota yang ingin menikmati bakpia ini. Berdasarkan pengalaman, pemandangan orang-orang menenteng tas belanjaan bakpia Tugu sangat mudah ditemui di bandara dan stasiun di D.I. Yogyakarta. Dalam kurun waktu tiga tahun, Bakpia Tugu telah membuka enam toko cabang. Hal ini menunjukkan inovasi bakpia ini berhasil dan mampu memikat hati wisatawan.
Fenomena inovasi kuliner khas D.I. Yogyakarta ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran identitas bakpia seiring dengan konteks sosial yang terus berubah. Pertanyaannya adalah apakah bakpia zaman now akan menggeser posisi bakpia tempo dulu di kalangan peminat kuliner khas D.I. Yogyakarta? atau apakah bakpia “zaman now” ini akan melunturkan nilai-nilai sejarah yang melekat pada bakpia tempo dulu?
Sebuah inovasi tentunya harus dimaknai secara positif. Mengutip Robbins dan Coulter (2010), inovasi merupakan hasil dari ide-ide kreatif menjadi produk yang bermanfaat. Oleh sebab itu, produk-produk inovasi kuliner khas daerah ini merupakan produk kreatif anak bangsa yang harus diapresiasi secara tinggi, apalagi jika mampu meningkatkan sektor pariwisata dan ekonomi daerah. Meski demikian, nilai sejarah yang melekat pada kekayaan kuliner khas daerah tidak boleh dilupakan. Dalam beberapa tahun ke depan, tentu akan banyak bermunculan variasi bentuk, bahkan rasa baru dari bakpia. Bagaimanapun bentuk dan varian rasa bakpia ke depannya, bakpia merupakan produk dari sikap saling menghargai antarwarga dengan kebudayaan yang berbeda dan sikap inilah yang perlu kita jaga dan lestarikan.
Jadi, kamu tim bakpia tempo dulu atau bakpia “zaman now”?
REFERENSI:
Dicky Eriyanto, 1310658032 (2018) Bakpia Sebagai Salah Satu Identitas Budaya Yogyakarta Dalam Penyutradaraan Film Dokumenter “Bakpia” Dengan Gaya Ekspository. Skripsi thesis, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Robbins, Stephen P. dan Coulter, Mary. 2010. Manajemen Edisi Kesepuluh. Jakarta: Erlangga
Nihayati, L. (2020). Dampak Sosial Perkembangan Bakpia Dalam Industri Pariwisata Di Pathuk Yogyakarta. Pringgitan, 01(01), 40–47. http://ejournal.stipram.ac.id/index.php/pringgitan/article/view/10
https://bakpia25.com/sejarah-bakpia-pathok/article/sejarah-bakpia-pathok”>https://bakpia25.com/sejarah-bakpia-pathok/article/sejarah-bakpia-pathok diakses tanggal 30 Januari 2021
https://bakpiakukustugu.co.id/”>https://bakpiakukustugu.co.id/ diakses tanggal 30 Januari 2021
Statistik Kepariwisataan 2019. (2019).
*Citra Sekarjati, M.P.A. | Asisten Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM | Ilustrasi: M. Affen Irhandi/PSKK UGM