Pakar Kependudukan: Program KB di Indonesia Sedikit Mengendur

02 November 2020 | admin
Arsip Media, Informasi

Pakar kependudukan sekaligus Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Agus Joko Pitoyo mengatakan pengenduran program KB saat ini bukan tanpa alasan. Pengenduran terjadi lantaran program KB di Indonesia sejak tahun 1970 sempat dinilai sudah berhasil karena total fertility rate atau tingkat kelahiran rata-rata pada waktu itu turun dari 5,6 persen menjadi 2,6 persen.

Hal tersebut juga didorong oleh perspektif masyarakat yang pada zaman dahulu berpandangan anak sebagai rezeki. Sementara saat ini generasi sekarang berspespektif anak merupakan beban.

“Walaupun (Program KB) cenderung dilemahkan, sedikit mengendur, tapi generasi sekarang sudah tidak ingin punya anak banyak. Setelah 50 tahun program KB di Indonesia ini sudah bisa mengubah opini masyarakat yang dulu ukuran keluarga besar itu baik. Sekarang keluarga kecil itu yang baik sehingga generasi saat ini ketika punya anak lebih dari dua mereka sudah malu. Bahkan di antaranya ingin punya anak satu,” kata Agus kepada VOA, Sabtu (9/5).

Walaupun saat ini program KB cenderung dikendurkan tapi nilai di dalam masyarakat terkait dengan keluarga inti yaitu dua anak cukup sudah mengakar luar biasa. Tanpa harus dikatakan untuk ikut program KB, masyarakat sudah melek terkait dengan keluarga berencana.

“Misalnya melalui pendidikan, jalurnya sekarang diganti tidak family planning dalam perspektif keluarga. Tapi family planning dalam perspektif kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, sehingga generasi sekarang itu sudah mulai berpikir. Tanpa sentuhan program KB, masyarakat melihat kondisi ekonomi, beban hidup, pendidikan, dan tuntutan masa depan otomatis mereka sudah tidak ingin punya anak banyak,” ujar Agus.

KB Penting, Kelanjutan Demografi juga Penting

Masih kata Agus, di Indonesia telah terjadi transformasi, yang pada Orde Baru berspektif keluarga luas, maka kini menjadi keluarga inti. Hal itu berpengaruh terhadap total fertility rate di Indonesia yang telah mencapai angka 2,6 persen, bahkan di beberapa provinsi berada pada replacement rate 2,1 persen, contohnya di Yogyakarta.

“Artinya kalau ini berlarut-larut dan ditekan terus nanti regenerasi penduduknya tidak ada. Kita harus hati-hati jangan sampai terjebak sangat getol terus ingin family planning sampai di bawah 2,1 persen itu berbahaya karena tidak terjadi keberlanjutan demografi. Padahal yang diinginkan adalah penduduk tumbuh seimbang,” ungkapnya.

“Pemerintah saat ini agak mengendurkan biar kemudian tidak kebablasan ini menurut perspektif saya. Tapi memang harus tetap dijaga jangan sampai TFT (total fertility rate-nya) naik dan turun terlalu tinggi,” tambah Agus.

Kendati cenderung mengendur, namun pemerintah masih memprioritaskan program KB hingga saat ini. Hanya saja pada saat ini komitmen politik pemerintah tidak seperti zaman orde baru.

“Sekarang ada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) masih eksis tapi dukungan segala aspek tidak sekuat di zaman orde baru. Walaupun demikian Indonesia tetap itu jadi prioritas sampai sekarang gencar dilakukan,” tutur Agus.

Sementara itu, Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo mengatakan pemerintah tetap memprioritaskan program KB karena Indonesia telah memasuki tahapan transisi demografi di mana total fertility rate pada wanita subur itu di Tanah Air masih di angka 2,3 sampai 2,4 persen.

“Sehingga kami harus berusaha keras untuk menuju angka fertility rate ke 2,1 persen. Di samping itu di Indonesia belum merata jadi antar wilayah provinsi kesenjangannya masih tinggi. Oleh karena itu kesenjangan fertility rate yang masih tinggi ini penting untuk diatasi karena sesuai demografi semua provinsi harus merasakan. Atas dasar alasan itu maka kontrasepsi itu masih penting sekali,” kata Hasto saat dihubungi VOA, Jumat (8/5) malam.

Menurut Hasto, pemerintah tetap berupaya mengatasi lonjakan tersebut, karena peningkatan jumlah penduduk yang tidak disertai sistem layanan kesehatan atau pendidikan yang memadai bakal memicu masalah besar di kemudian hari. Salah satunya, pemerintah melakukan pendekatan melalui kampanye dengan alat kontrasepsi.

“Di Indonesia yang memiliki anak banyak itu berciri khas tiga yaitu pendidikan rendah, hidup di desa, dan pendapatan rendah. Sebenarnya secara jangka panjang itu pendidikan ditingkatkan kemudian pendapatan per kapita naik lalu akses-akses bertambah bagus. Ketika hal ini dilakukan maka otomatis dia akan menurun jumlah anaknya. Orang yang berkecukupan, hidup di kota, dan berpendidikan tinggi cenderung anaknya sedikit. Inilah upaya secara sosiologis bagaimana menurunkan jumlah anak. Tapi kalau secara biologis, ya kami memang pendekatannya bagaimana kampanye dengan alat kontrasepsi,” jelasnya. [aa/em]

*Sumber: VOA Indonesia | Foto: Proses pemasangan susuk KB pada masa pandemi corona (Humas BKKBN).