Menggaungkan Kembali Gerakan PHBS di Tengah Pandemi COVID-19 | Oleh: Sri Purwatiningsih

31 Agustus 2020 | admin
Artikel, Esai & Opini, Main Slide, Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Saat ini Gerakan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) kembali digalakkan sebagai upaya pencegahan COVID-19. Lebih dari setengah tahun, dunia telah bergulat untuk mengatasi COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) dan sejak 11 Maret 2020, WHO bahkan telah menyatakan COVID-19 sebagai pandemi global. Pandemi merujuk pada penyakit yang menyebar ke banyak orang di beberapa negara dalam waktu yang bersamaan. Jumlah penyebaran virus corona bertambah signifikan dan berkelanjutan secara global. Selama vaksin belum ditemukan, maka upaya untuk menekan penyebaran dan pencegahan COVID-19 adalah dengan menerapkan PHBS.

PHBS: Salah Satu Strategi Melawan COVID-19

PHBS merupakan salah satu strategi rekayasa sosial yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang bertujuan untuk membuat sebanyak mungkin anggota masyarakat sebagai agen perubahan agar mampu meningkatkan kualitas perilaku sehari-hari agar memiliki gaya hidup bersih dan sehat. Kebijakan tentang PHBS diatur dalam Permenkes RI Nomor 2269/Menkes/Per/XI/2011 tentang Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. PHBS ini merupakan sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran diri dan dilakukan secara terus-menerus atau rutin, sehingga menjadi sebuah pembelajaran karakter untuk mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya. Sebelumnya, tujuan PHBS adalah untuk mencegah penyebaran penyakit-penyakit menular, seperti diare dan pencegahan stunting. Namun saat ini, dalam upaya mencegah penyebaran COVID-19, PHBS kembali digalakkan.

Tatanan PHBS perlu diterapkan dalam beberapa elemen yang merupakan bagian dari tempat beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari, yaitu rumah, sekolah, tempat kerja, sarana kesehatan, dan tempat umum. Jika PHBS diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka hal ini diharapkan dapat meningkatkan daya tahan tubuh sebagai salah satu kunci mencegah penularan COVID-19. Salah satu indikator penting dalam PHBS adalah cuci tangan pakai sabun (selanjutnya disebut CTPS) yang terbukti sangat penting dalam mencegah penyakit menular, seperti penularan COVID-19. Hal ini diungkapkan oleh White, et al. (2020) yang dimuat dalam International Journal of Hygiene and Environmental Health 227 (2020) 113512.

Berkaitan dengan pencegahan COVID-19 pada Maret 2020, Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19; salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah gerakan CTPS disamping upaya lain, seperti penggunaan masker dan jaga jarak. Mencuci tangan yang baik harus menggunakan sabun dan air yang mengalir untuk pencegahan optimal.

Namun, efektivitas promosi hidup bersih dan sehat untuk mengubah perilaku, khususnya cuci tangan pakai sabun sebagai sebuah kebiasaan, masih menjadi tantangan. Studi yang dilakukan oleh PSKK tahun 2013 yang bekerja sama dengan Plan Internasional yang dilakukan di Jawa Tengah, NTB, dan NTT menunjukkan bahwa cuci tangan menggunakan sabun belum menjadi budaya di masyarakat. Pada umumnya, mereka tidak mempraktikkan CTPS, misalnya sebelum dan sesudah makan. Sebenarnya gerakan mencuci tangan telah dikenalkan sejak pendidikan dini melalui program PHBS di sekolah, namun faktanya masih banyak orang yang mencuci tangan dengan cara yang kurang baik dan benar, bahkan banyak juga orang yang tidak mempraktikkan cuci tangan pakai sabun (Kompas, 20 Juli 2020).

Pandemi “Memaksa” Perubahan Perilaku Masyarakat

Mengubah perilaku masyarakat untuk hidup bersih dan sehat bukan hal yang mudah. Studi Sinaga, et al (2005) yang dimuat dalam Jurnal JMPK Vol. 08:02 yang terbit pada Juni 2005 mengungkapkan bahwa untuk membiasakan masyarakat mempraktikkan PHBS, dibutuhkan peran tokoh yang berpengaruh dalam masyarakat. Padahal CTPS adalah salah satu perilaku hidup bersih dan sehat yang sederhana, yaitu intervensi kesehatan yang paling hemat biaya karena tidak membutuhkan peralatan yang canggih dan dapat dilakukan di mana pun dan kapan pun. Dengan menerapkan CTPS, kita dapat mencegah penularan penyakit saluran pencernaan dan pernafasan. Namun, membiasakan masyarakat untuk mencuci tangan merupakan sesuatu yang cukup sulit. Kurangnya fasilitas yang memadai dan sabun di wilayah-wilayah penduduk miskin menjadi salah satu sebab kebiasaan ini sulit diterapkan. Di negara-negara berkembang, hanya 27 persen dari populasi yang memiliki akses pada fasilitas ini. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF memperkirakan bahwa sekitar tiga miliar orang di dunia tidak memilikinya di rumah (BBC News 27 April 2020).

Perubahan perilaku sangat diperlukan untuk intervensi kesehatan masyarakat. Namun dalam artikelnya yang dimuat dalam Jurnal BMC Public Health (2020) 20:154, Czerniewska and White (2020) menjelaskan bahwa intervensi kesehatan masyarakat sempat mengalami status quo karena cukup sulit mendidik masyarakat untuk memahami risiko kesehatan dan manfaat dari perubahan perilaku. Momentum COVID-19 memberikan kesempatan yang baik untuk menggalakkan perilaku hidup bersih dalam program nasional terkait PHBS. Pandemi COVID-19 telah memaksa masyarakat untuk cepat berubah. Pandemi ini merupakan faktor pendorong yang kuat bagi masyarakat untuk meningkatkan kebersihan pribadi.

Saat ini, kebiasaan CTPS telah menjadi budaya baru yang masif bagi masyarakat. Hampir semua fasilitas umum menyediakan fasilitas CPTS, bahkan beberapa fasilitas umum mewajibkan pengunjung untuk CTPS terlebih dahulu sebelum memasuki fasilitas tersebut. Dalam situasi pandemi ini, CTPS akhirnya menjadi rutinitas bahkan keharusan. Ancaman penyebaran virus yang meluas dan mudah menempel pada berbagai jenis benda menjadikan aktivitas CTPS sebagai solusi untuk membunuh virus.

Kebiasaan CTPS perlu diterapkan dalam lingkungan keluarga sejak dini. Keluarga merupakan kunci mengubah perilaku. Tumbuhnya kesadaran terhadap CTPS sebagai budaya baru juga perlu dipelihara. Perubahan perilaku pada anak untuk membiasakan melakukan CTPS dapat dilakukan dalam lingkungan keluarga. Perilaku anak dapat dibentuk sejak dini agar kebiasaan ini dapat mereka bawa hingga dewasa. Pengalaman selama pandemi ini akan membuat mereka terbiasa melakukan CTPS di kemudian hari. Setelah pandemi berakhir, CTPS diharapkan akan tetap dilakukan jika kebiasaan ini telah menjadi budaya masyarakat.[]

*Sri Purwatiningsih, S.Si.,M.Kes | Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada | Ilustrasi: M. Affen Irhandi/PSKK UGM