Kasus Pelecehan Seksual: Menikahkan Korban dengan Pelaku Berarti Menjebak Korban dalam Kekerasan Seumur Hidup  

05 Juni 2021 | media_cpps
Berita PSKK, Informasi, Main Slide, Siaran Pers

Yogyakarta, PSKK UGM – Kasus pelecehan seksual kembali terjadi di Indonesia. Belakangan ini masyarakat digemparkan dengan berita kasus pelecehan seksual yang dilakukan AT (21), anak anggota DPRD Bekasi terhadap anak di bawah umur, PU (15). Setelah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka, AT justru menyampaikan bahwa dirinya akan menikahi korban atas alasan dirinya mencintai korban. Wacana untuk menikahi korban ini ditolak mentah-mentah oleh D, ayah korban.

Novi Widyaningrum, peneliti dan pemerhati gender Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, mengkritik keras wacana pelaku untuk menikahi korban. Menurutnya, wacana menikahi korban merupakan wujud arogansi berdasarkan kelas sosial dan kuatnya budaya patriarki di Indonesia.

“Saya sangat menentang hal tersebut. Korban baru 15 tahun, ini artinya masih anak-anak dan melanggar Undang-Undang Perkawinan,” ujar Novi.

Berdasarkan Undang-Undang No.16/2019 tentang Perkawinan, usia minimal pernikahan adalah 19 tahun. Menikahkan korban yang masih berusia 15 tahun berarti melakukan forced marriage atau pernikahan paksa. Selain melanggar UU Perkawinan, hal ini juga melanggar UU Perlindungan Anak, Konveksi Hak Asasi Manusia, dan Konveksi Hak Anak.

Novi menilai, menikahkan korban dengan pelaku berarti menjebak korban dalam lingkaran kekerasan seumur hidup. Setelah menikah, korban berpotensi mengalami multiple forms of violence, seperti kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan tidak menutup kemungkinan juga akan mengalami kekerasan verbal, fisik, dan ekonomi.

Menikahkan korban dengan pelaku juga berarti bahwa kekerasan tersebut tidak dihentikan, tetapi justru dilegalkan dalam ikatan pernikahan. Menurutnya, wacana menikahkan korban dengan pelaku karena pelaku merupakan orang dekat juga hanyalah pencitraan semata, dan upaya untuk menghindari sanksi hukum bagi para pelaku.

“Ini sih namanya membunuh korban secara perlahan. Syukurlah, orang tua korban menyadari ini dan menolak tawaran ‘damai’ tersebut. Pengacara menyatakan itu adalah kasus perzinaan. Ini mirip contoh kuat dari rape culture ditambah permisivitas yang tinggi terhadap rape yang dilakukan oleh pasangan, ujung-ujungnya solusinya adalah damai dan nikah,” ungkap Novi.

Menurut Novi, upaya ‘mediasi’ dan ‘perdamaian’ yang diciptakan masyarakat, institusi pemerintah, bahkan pihak kepolisian merupakan bukti bahwa kasus pelecehan seksual masih dilihat bukan sebagai sebuah kejahatan. Terlebih dalam kasus PU, pelaku AT merupakan kekasih korban, sehingga kejadian seperti ini kerap dianggap sebagai hal lumrah. Pola pemikiran seperti ini berpotensi membuat perempuan semakin masuk dalam lingkungan kekerasan.

Perlindungan Maksimal terhadap Korban & Urgensi Pengesahan RUU PKS

Kasus pelecehan seksual yang dialami PU tentu bukanlah satu-satunya yang ada di tengah masyarakat, tetapi fenomena gunung es maupun hal yang hanya tampak di permukaan pasti juga terjadi pada kasus seperti ini.

Untuk melindungi korban kasus pelecehan seksual, Novi memaparkan bahwa setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, memberikan upaya perlindungan dan trauma healing kepada korban serta mengupayakan agar korban mendapat lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga bisa membangkitkan rasa percaya diri dan menjalani hidup selanjutnya tanpa rasa ketakutan.

“Jangan memasukkan korban dalam lingkaran kekerasan selanjutnya termasuk perundungan, karena korban juga sangat rentan mendapatkan ini. Masyarakat masih belum banyak memiliki kesadaran atas kasus seperti ini dan bisa melakukan blaming the victim,” ujarnya.

Kedua, pelaku harus mendapat hukuman sesuai hukum yang berlaku. Pelaku telah melakukan kejahatan berlapis. Setidaknya ada pemerkosaan, human trafficking (perdagangan orang), dan kekerasan terhadap anak. Memberikan hukuman terhadap pelaku sesuai dengan hukum yang berlaku akan menjadi contoh baik bagi masyarakat luas dan penegakan hukum di Indonesia.

Novi juga menekankan bahwa para pemangku kebijakan harus menguatkan penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia. Hukum yang dibentuk harus dijalankan secara adil dan dapat diakses oleh siapa pun. “Jangan karena pelaku adalah orang yang memiliki kedudukan dan kekuatan politis, sehingga ada upaya-upaya untuk mengaburkan kejahatan dan mereduksi hukuman,” tegas Novi.

Novi juga menekankan pentingnya percepatan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang nantinya akan menjadi pijakan hukum yang kuat untuk melindungi korban dalam kasus seperti ini.  Dalam RUU PSK juga ditegaskan bahwa, pemaksaan perkawinan dilarang dan dijadikan tindak pidana.

Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat upaya edukasi kepada masyarakat luas mengenai kekerasan terhadap perempuan, salah satunya adalah menguatkan kurikulum pendidikan sejak dini di sekolah terkait pencegahan kekerasan dan perlindungan perempuan. Penghormatan terhadap perempuan dan kesetaraan gender harus benar-benar ditekankan dalam dunia pendidikan.

Langkah penting lainnya adalah menciptakan dan menyosialisasikan sistem jalur pengaduan yang terjangkau bagi perempuan korban kekerasan. Konteks bahwa korban selalu dalam posisi traumatis dan lemah (secara psikologis, sosial, dan mungkin fisik) merupakan pertimbangan utama untuk menciptakan sebuah alur pengaduan yang dapat dijangkau secara cepat dan tepat.

Penulis: Nuraini Ika |  Editor Bahasa: Rinta Alvionita  |  Foto: Ilustrasi Kekerasan Seksual Anak (istockphoto)