Yogyakarta, PSKK UGM – Pernyataan Komnas Perempuan pada 2014 silam tentang Indonesia darurat kekerasan seksual tentunya bukan tanpa dasar. Sebagai lembaga negara yang independen dalam penegakan hak asasi manusia Indonesia, Komnas Perempuan mempunyai basis data yang memadai terkait berbagai tindak kekerasan yang dialami perempuan, bahkan Komnas Perempuan mencatat adanya peningkatan kasus dari waktu ke waktu. Jadi, mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang telah diusulkan kepada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI sejak 2015 hingga saat ini belum bisa disahkan? Apa inti permasalahannya dan adakah jalan keluarnya?
Polemik RUU PKS: Feminis vs Agama Konservatif
Polemik RUU PKS yang terjadi dalam beberapa kali sidang DPR RI adalah pembahasan tentang istilah dan jenis kekerasan seksual. Fraksi pendukung (PDIP, PKB, Nasdem) menyetujui istilah kekerasan seksual yang mencakup 9 (sembilan) jenis kekerasan seksual (pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual), sedangkan fraksi PKS menolaknya dengan mengusulkan istilah lain, yaitu kejahatan seksual yang mencakup 5 (lima) jenis (pemerkosaan, penyiksaan seksual, penyimpangan perilaku seksual, pelibatan anak dalam tindakan seksual, dan inses). Fraksi PKS berpendapat bahwa istilah kejahatan seksual lebih menunjukkan kedaruratan untuk bisa memidana pelaku kejahatan seksual dan penyimpangan seksual/norma kesusilaan. Di sisi lain, Komnas Perempuan menanggapi pendapat PKS ini dengan menegaskan bahwa kekerasan melibatkan tindakan menghancurkan seseorang yang maknanya justru lebih luas dari delik kejahatan pidana semata. Selain itu, konteks hukum kekerasan seksual tidak bisa dipadankan dengan konteks norma kesusilaan/penyimpangan seksual.
Lebih dari sekadar istilah dan jenis kekerasan seksual, polemik RUU PKS secara mendalam mencerminkan perbenturan cara pandang (worldview) antara pihak pro dari kelompok feminis dan pihak kontra dari kelompok agama konservatif. Bagi kelompok agama konservatif, RUU PKS dinilai ‘membawa’ semangat liberalisme dan feminisme yang keduanya tidak sesuai dengan agama (Islam) dan Pancasila. Dalam hal ini, RUU PKS dianggap mengafirmasi perilaku zina, aborsi, pelacuran, dan LGBT. Mereka juga mengkhawatirkan terjadinya over-kriminalisasi terhadap pelaku, karena sebelum adanya RUU PKS telah ada beberapa undang-undang dengan semangat yang sama, antara lain KUHP, UU PKDRT, UU PTPO, dan UU Perlindungan Anak. Secara ringkas, ajaran agama menjadi sumber pengetahuan kelompok agama konservatif untuk merasionalisasi RUU PKS. Cara pandang ini tentu saja sulit diterima oleh kelompok feminis yang memiliki sumber pengetahuan RUU PKS pada pengalaman ketertindasan perempuan dalam konteks masyarakat patriarkis yang bersifat universal. Bagi kelompok feminis, kenyataan obyektif inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan paling mendasar untuk menyusun undang-undang yang mampu melindungi perempuan dari berbagai tindak kekerasan, bukan atas dasar pertimbangan moralitas yang sempit dan norma kesusilaan semata. Jika kelompok feminis dan kelompok (agama) konservatif memang memiliki hakiki pengetahuan yang berbeda, masih mungkinkah mereka bekerja sama untuk mencari titik temu dalam polemik RUU PKS?
Feminis vs Agama Konservatif: Frenemies?
Nancy Whittier, penulis buku “Frenemies: Feminist, Conservative and Sexual Violence” (2018), telah melakukan studi tentang perilaku kelompok feminis dan kelompok konservatif yang masing-masing memiliki cara pandang berbeda tentang pornografi, kekerasan seksual terhadap anak dan Violence Against Women Act, namun keduanya saling berinteraksi, begitu juga dengan pemerintah federal US. Hasil studinya menunjukkan bahwa model interaksi yang terbangun antara kelompok feminis dan kelompok konservatif adalah frenemies (teman tapi lawan), bukan aliansi bukan juga oposisi, namun ‘bekerja sama’ untuk mencapai satu tujuan yang sama. Dalam polemik RUU PKS, kurang lebih model interaksi frenemies inilah yang terbangun antara kelompok feminis (Komnas Perempuan dan jaringan aktivis perempuan se-Indonesia) yang didukung oleh fraksi PDIP, PKB, dan Nasdem serta kelompok agama konservatif (fraksi PKS) yang didukung oleh sejumlah partai politik berbasis Islam dan gerakan dakwah Islam. Dalam interaksi politik, kelompok feminis secara jelas membuat framing RUU PKS dalam konteks subordinasi perempuan sebagai hasil dari relasi-relasi kuasa yang tidak seimbang dalam masyarakat. Sedangkan kelompok agama konservatif terkadang meminjam frame kelompok feminis untuk menunjukkan dampaknya terhadap norma kesusilaan dan kehidupan keluarga. Oleh sebab itu, dua kelompok ini memiliki titik perhatian yang berbeda terhadap tindak kekerasan seksual; sementara kelompok feminis mengindentifikasi jenis-jenis kekerasan seksual sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, kelompok agama konservatif membicarakan kekerasan seksual sembari merujuk pada etika dan moralitas agama. Meskipun kedua kelompok ini memiliki cara pandang berbeda tentang arti kekerasan seksual, mereka sepakat bahwa insiden kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat dan mengkhawatirkan, sehingga keduanya berbagi perjuangan yang sama, yaitu memberikan hak perlindungan bagi perempuan korban kekerasan. Kemudian, bagaimana tujuan yang sama ini bisa mempertemukan dua kelompok yang berpolemik?
Tarik ulur RUU PKS di DPR RI yang berlangsung hampir 5 (lima) tahun sudah saatnya direfleksikan ulang. Kita perlu belajar dari keberhasilan UU PKDRT, kebuntuan UU Pornografi, dan proses-proses legislasi undang-undang lainnya yang hampir tidak pernah lepas dari polemik. Mengapa perdebatan semakin alot? Titik-titik pemahaman manakah yang saling berbenturan dan bagaimana hal itu bisa dinegosiasikan? Model interaksi frenemies memang tidak ideal dan cenderung ambigu. Jika salah satu kelompok memaksakan untuk mengikuti pandangan kelompok yang lain, baik reputasi politik maupun keyakinan ideologi dipertaruhkan. Dengan demikian, tidak ada jalan lain selain masing-masing mencoba untuk berpikir lebih lentur. Pemilihan bahasa yang mampu mengakomodasi pemahaman yang berbeda menjadi penting untuk bisa mencapai kesepakatan. Namun yang terpenting dari semua itu adalah menyingkirkan ego dan memperkuat kesadaran bahwa masing-masing sedang memperjuangkan hal yang sama, yaitu hak perlindungan bagi korban kekerasan seksual, khususnya perempuan. []
*Basilica Dyah Putranti, PhD. Cand | Peneliti dan Koordinator Media Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada | Ilustrasi: Affen Irhandi/PSKK UGM