Yogyakarta, PSKK UGM – Sebuah yayasan agama di Bandung rutin mengadakan sunat perempuan massal setiap tahun. Pada acara sunat perempuan massal terbaru, yayasan tersebut menargetkan jumlah anak perempuan yang berpartisipasi sebanyak 130. Namun, peserta yang mendaftar mencapai 220 anak perempuan, seperti dilansir Vice Indonesia (10/1/2020).
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, secara nasional tercatat 51 persen perempuan usia 0-11 tahun di Indonesia pernah disunat. Kemudian, 72,4 persen diantaranya melakukan sunat pada usia 1-5 bulan, 13,9 persen pada usia 1-5 bulan, 13,9 persen pada usia 1-4 tahun, dan 3,3 persen pada usia 5-11 tahun.
Indonesia yang selama ini luput dari “pantauan radar” sunat perempuan (female genital mutilation/cutting) di tingkat global, kini muncul dengan permasalahan tersebut. Selain itu, selama ini praktik sunat perempuan dinilai sebagai African phenomenon, yaitu fenomena yang hanya terjadi di Afrika. Data dari Riskesdas 2013 ini melatarbelakangi munculnya pandangan lain bahwa sunat perempuan juga terjadi di Asia, khususnya Indonesia.
Dalam rangka memperingati Hari Nol Toleransi Praktik Sunat Perempuan, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM bekerja sama dengan Women’s March Yogyakarta menggelar seminar bertajuk “Membedah Mitos dan Fakta tentang Sunat Perempuan” pada Kamis, 6 Februari 2020 di Auditorium Prof. Dr. Agus Dwiyanto, Gedung Masri Singarimbun, Jl Tevesia, Bulaksumur, Yogyakarta.
Seminar ini tidak saja menghadirkan peneliti dari PSKK UGM, tetapi juga aktivis gender, aktivis kesehatan reproduksi, dan Islamic scholar. Seminar ini bertujuan untuk melihat sunat perempuan dari berbagai perspektif, seperti budaya, agama, dan kebijakan.
Pada kesempatan tersebut, Peneliti PSKK UGM, Sri Purwatiningsih, S.Si., M.Kes. selaku pembicara seminar menyampaikan bahwa di beberapa daerah Indonesia, praktik sirkumsisi atau P2GP di Indonesia dianggap sebagai kewajiban agama yang harus dilakukan dan telah menjadi tradisi turun temurun yang sulit dihilangkan. Pernyataan tersebut merujuk pada hasil survei PSKK UGM 2017 bertajuk Pemotongan/Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP) Persimpangan antara Tradisi dan Modernitas.
Hasil survei PSKK UGM tersebut menunjukkan, sebagian besar P2GP dilakukan oleh dukun bayi (45 persen), bidan/perawat/mantri (38 persen), dukun sunat perempuan (10 persen), dan dokter (1 persen). Hasil survei PSKK juga menyebutkan, 84,6 persen dukun bayi melakukan sunat perempuan menggunakan pisau, kater, atau silet; 3,9 persen menggunakan gunting; dan 7,7 persen menggunakan jarum.
Berdasarkan tipologi WHO (2012), ada empat metode yang digunakan dalam sunat perempuan, yaitu Clitoridectomy (pemotongan sebagian atau seluruh klitoris atau selaput di atasnya), Excision (pemotongan sebagian atau seluruh klitoris dan/atau labia minora dengan atau tanpa memotong labia majora), Infibulation (praktik yang mempersempit lubang vagina dengan selaput penutup dengan memotong atau mengubah bentuk labia majora dan labia minora, sedangkan klitoris tidak disentuh sama sekali), dan metode tindakan lain yang melukai vagina tanpa tujuan medis, seperti menggaruk, menusuk atau menggores area genital.
Sementara menurut hasil survei P2GP, PSKK 2017, tipe ke-empat merupakan metode yang paling banyak dilakukan di Indonesia. Selain temuan tersebut, penelitian PSKK juga menemukan jenis praktik P2GP yang tidak ada dalam tipologi WHO, seperti memotong sebagian klitoris dan preputium (prepuce), menggores atau mengorek bagian uretra (urethral opening), dan simbolis tanpa perlukaan.
Survei PSKK UGM 2017 tersebut dilakukan di 10 provinsi; 7 provinsi memiliki angka prevalensi P2GP cukup tinggi, yaitu Gorontalo, Bangka Belitung, Banten, Riau, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, dan Sulawesi Barat, kemudian 3 provinsi memiliki peraturan daerah yang mendukung praktik medikalisasi perempuan di fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu Kalimantan Timur, Jambi, dan Nusa Tenggara Barat.
No Health Benefits, Only Harm
Merujuk pada pernyataan WHO, P2GP tidak memiliki manfaat kesehatan, justru membahayakan anak perempuan dan perempuan dalam banyak hal, seperti perdarahan berlebih, pembengkakan jaringan genital, demam, infeksi misalnya tetanus, masalah pada kandung kemih, cidera pada jaringan genital di sekitarnya hingga kematian.
Untuk jangka panjang, sunat perempuan dapat menimbulkan masalah pada kandung kemih (buang air kecil yang menyakitkan, infeksi saluran kemih), masalah pada vagina (keputihan, gatal, vaginosis bakteri, dan infeksi lainnya), masalah saat menstruasi (nyeri haid, kesulitan mengeluarkan darah menstruasi, dan sebagainya).
Kemudian juga dapat menimbulkan masalah seksual (nyeri selama hubungan intim, penurunan kepuasan), peningkatan risiko komplikasi persalinan (sulit melahirkan, perdarahan berlebihan, operasi caesar, dan perlu menyadarkan bayi), kematian bayi baru lahir, masalah psikologis (depresi, kecemasan, gangguan stres pasca-trauma, harga diri rendah), dan komplikasi kesehatan mutilasi alat kelamin wanita lainnya.
Karena dilatarbelakangi kentalnya adat dan budaya serta tanpa alasan medis, WHO mengeluarkan pedoman baru yang mengatakan bahwa sunat perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Link materi seminar “Membedah Mitos dan Fakta tentang Sunat Perempuan”, PSKK UGM.