WONOSOBO, suaramerdeka.com – Sejumlah mahasiswa asal sejumlah negara mengikuti kursus musim panas (Summer Course) di Desa Lipursari, Kecamatan Leksono, Wonosobo, Senin (13/8). Kegiatan yang digelar Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Yogjakarta itu dilakukan dengan fokus penelitian tentang tata kelola eks buruh migran atau mantan tenaga kerja Indonesia (TKI).
Pendamping peserta, Fadlan Habib menyebutkan Summer Course digelar UGM bekerjasama dengan Universitas Jenderal Sudirman (Unsoed) Purwokerto. Kegiatan diikuti para mahasiswa dari Thailand, Myanmar, Taiwan dan Singapura, hingga Selandia Baru yang sebagian tengah menempuh pendidikan pascasarjana. “Kami mencoba menggali sejauh mana proses terbitnya Perda tentang Perlindungan TKI di Wonosobo,” beber dia.
Selain menggali Perda tentang Perlindungan TKI di Wonosobo, pihaknya juga menggali mengenai Peraturan Desa (Perdes) Lipursari tentang Buruh Migran. Tak hanya itu pihaknya juga menyasar dua desa migran produktif lain, yaitu Desa Kuripan Kecamatan Watumalang, dan Desa Rogojati, Kecamatan Sukoharjo. “Kami lakukan selama tiga hari. Peserta Summer Course akan berinteraksi dengan warga masyarakat setempat,” akunya.
Namun, interaksi akan lebih dikhususkan bagi para eks buruh migran untuk mendapat informasi dan data-data yang mereka perlukan untuk mendukung studi. Dari forum group discussion (FGD) yang digelar di Balai Desa Lipursari, terlihat sebagian besar peserta penasaran pada keberhasilan perjuangan eks buruh migran untuk melindungi hak-hak mereka melalui regulasi permanen oleh pemkab hingga mendapat dukungan pemdes.
Eks buruh migran yang kini menjadi aktivis pembela nasib para TKI, Siti Maryam alias Maria Bo Niok mengungkapkan, proses panjang ditempuh demi terbitnya Perda tentang Perlindungan TKI di Wonosobo. “Bahkan, proses bisa dibilang cukup berdarah-darah, karena memang tidak mudah dan banyak yang menentang juga, ketika kami berupaya mendorong terbitnya Perda Perlindungan TKI ini,” tutur dia.
Dijelaskan, para eks buruh migran Wonosobo, butuh waktu lebih dari dua tahun untuk memperjuangkan terbitnya Perda No 8/2016 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. “Pada regulasi ini salah satunya mengatur agar setiap calon TKI perempuan yang memiliki kewajiban menyusui, wajib menunggu hingga anaknya berusia dua tahun apabila berkeinginan berangkat ke luar negeri untuk bekerja sebagai buruh,” terangnya.
Hal itu, kata Maria sempat menjadi polemik dan bahkan sebagian pihak menuduhnya melanggar hak asasi manusia (HAM). “Kami bergeming dan tetap pada pendirian bahwa anak lebih berhak mendapatkan air susu ibu (ASI) dan pengasuhan seorang ibu sampai ia berumur dua tahun, dan akhirnya usulan itu disetujui dan diakomodasi dalam Perda,” beber wanita berhijab itu.
Senada, Kepala Desa Lipursari, Wagiman mengakui, adanya Perda Perlindungan TKI akhirnya menginspirasi pemerintah desa untuk membuat turunan berupa perdes. Dengan terbitnya perdes, kini para calon TKI tidak lagi bisa sembunyi-sembunyi apabila ingin berangkat ke luar negeri. “Dulu sering sekali kami kecolongan, karena para TKI tidak mengurus perizinan ke pemerintah desa,” ujar dia.
Namun demikian, setelah setahun lebih merantau ke luar negeri, pihaknya baru mengetahui mereka saat sudah pulang. Dengan sudah tertibnya administrasi setelah terbitnya perdes, kini ia mengaku tidak ada lagi warga yang pergi tanpa pamit. Imbas positif lainnya, warga Lipursari terhindar dari praktek human trafficking (perdagangan manusia), karena kini tidak sembarang PJTKI mencari tenaga kerja tanpa mendapat izin dari pihak pemdes. []
*Sumber: Suara Merdeka | Photo: Sejumlah mahasiswa asal sejumlah negara melakukan FGD dengan eks buruh migran saat kegiatan kursus musim panas (Summer Course) di Desa Lipursari, Kecamatan Leksono, Wonosobo, Senin (13/8). (Foto suaramerdeka.com/M Abdul Rohman)