Yogyakarta, PSKK UGM – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada telah menyelenggarakan seminar internal pada tanggal 17 September 2019 yang berjudul “Decision making and behaviours for sustainable spatial development process” dengan pembicara Datuk Ary A. Samsura yang merupakan pengajar dari Radboud University, Belanda.
Perencanaan tata kota saat ini menghadapi banyak persoalan. Pertama, proses pengkotakan, seperti urbanisasi. Dahulu kita menganggap Indonesia adalah negara agraris. Namun, saat ini sejak tahun 2015, lebih dari 51% penduduk Indonesia tinggal di kota. Bahkan, angka penduduk yang tinggal di daeraah perkotaan mencapai 56%. Proses pengkotakan (urbanisasi) ini tidak hanya dimaknai sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota, tetapi juga dimaknai sebagai pergeseran ciri-ciri fisik desa. Kedua, terjadi disparitas kelas sosial dan ekonomi yang semakin tajam. Ketiga, saat ini social movement menjadi lebih tinggi seiring dengan peningkatan penggunaan media sosial sebagai sumber informasi. Ketiga hal ini tidak hanya memengaruhi adanya pergeseran aktivitas manusia, tetapi juga morfologi kota. Ruang publik yang tadinya tertutup menjadi semakin terbuka.
Tantangan-tantangan tersebut berimplikasi kepada kompleksitas dinamika kota yang menjadi tinggi karena semakin banyak pemangku kepentingan dan juga preferensi masing-masing pemangku kepentingan yang semakin beragam. Menurut Datuk Ary, tidak hanya dari segi kuantitas dan juga preferensi masing-masing pemangku kepentingan yang meningkat, tetapi juga meningkatnya hubungan saling ketergantungan antara masing-masing pemangku kepentingan. Datuk Ary mencontohkan, ketika seseorang ingin menyampaikan opini, opini itu akan menjadi sebuah discourse (perbincangan public) jika opini tersebut diterima oleh masyarakat banyak.
Karena kompleksitas dinamika kota yang semakin tajam dan tinggi, serta banyak tantangan yang bermunculan dalam proses perencanaan pembangunan tata kota, maka terjadi perubahan paradigma terkait perencanaan ruang. Dahulu perencanaan dianggap sebagai perencanaan yang sifatnya rasional. Para akademisi yang mempelajari ilmu spatial planning dididik menjadi ahli yang dapat mengatasi permasalahan kota dengan segala pemikiran rasional mereka. Sehinggga, mereka membuat aturan yang detail tentang bagaimana harus membangun sebuah kota se-efisien mungkin. Perencanaan akhirnya menjadi sebuah kontrol dan upaya intervensi untuk mengubah ruang.
Sementara, saat ini tidak mungkin para ahli perencana spatial planning atau perencana tata kota mampu mengetahui apa yang paling rasional dan baik di masa depan. Hal ini karena apa yang kita inginkan di masa depan itu sifatnya subyektif. Terlebih, rasional setiap individu berbeda-beda.
Datuk Ary menekankan, preferensi setiap individu itu tidak ada ukurannya. Akhirnya, yang dapat dilakukan oleh para ahli spatial planning atau perencana tata kota adalah bagaimana mereka bisa mengakomodasi berbagai macam keinginan masyarakat. Para perencana tata kota dididik tidak menjadi ahli, melainkan fasilitator yang mengakomodasi berbagai macam keinginan dan preferensi masing-masing individu yang berbeda-beda, sehingga dirumuskan sebuah keputusan bersama.
Hasil keputusan bersama ini nantinya tidak hanya bisa menjadi sesuatu yang dapat menyenangkan banyak pihak, tetapi juga dapat memunculkan adanya “tragedy of the common”. Tragedy of the common dimaknai sebagai hubungan saling kebergantungan antarpara aktor di dalam proses pengambilan keputusan yang menyebabkan para pengambil keputusan ini merugi. Namun, hal ini dapat dihindari dengan ketersediaan sumber informasi yang memadai.