Raih Indeks Pembangunan Berwawasan Kependudukan Tertinggi
YOGYA, TRIBUN – Pengukuran Indeks Pembangunan Berwawasan Kependudukan (IPBK) di Indonesia, yang diumukan oleh BKKBN, Bappenas dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Minggu (18/10/2015), menunjukkan DIY berada pada peringkat pertama dengan nilai indeks, yakni 0,61. DIY mengalahkan Bali, dengan nilai indeks 0,59.
Di bawah Bali menyusul Bangka Belitung, DKI Jakarta, dan Jambi, dengan nilai indeks yang sama, yaitu 0,56. Hasil pengukuran indeks ini menunjukkan, provinsi dengan IPBK tinggi merupakan wilayah dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang juga tinggi peningkatan pada IPBK akan berpengaruh pula pada peningkatan IPM.
Pakar Kependudukan UGM, Dr Agus Joko Pitoyo MA, menuturkan, dalam konsep pembangunan manusia, IPM merupakan indikator untuk mengukur hasil atau output dari pembangunan. IPM memudahkan berbagai pihak dalam menilai keberhasilan pembangunan di masing-masing wilayah. Pada proses itu diperlukan pula indikator untuk memantau dan mengevaluasi proses atau jalannya pembangunan.
IPBK adalah indikator untuk mengukur proses tersebut. "Ini merupakan salah satu prinsip yang penting dalam penyusunan IPBK. Sebab, IPBK hanya dapat digunakan apabila memiliki korelasi dengan IPM," kata Agus kepada Tribun Jogja, Minggu (18/10).
Dia menambahkan, ada lima dimensi dalam pengukuran IPBK, diantaranya, dimensi partisipasi, dimensi keberlangsungan, dimensi prorakyat hingga dimensi integrasi dan kesetaraan. Untuk dimensi partisipasi, poin yang dinilai adalah partisipasi bidang pendidikan, kesehatan maupun ekonomi. Dimensi ini berangkat dari salah satu prinsip pembangunan berwawasan kependudukan bahwa penduduk adalah subyek atau pelaku pembangunan.
“Jika penduduk sebagai subyek, pelaku atau penggerak dari pembangunan, maka nilai luhur subyek tadi adalah partisipasi. Indikator penilaian terhadap partisipasi, kepedulian, dan keaktifan penduduk inilah yang perlu untuk diturunkan ke dalam variabel-variabel penyusun IPBK,” papar Agus.
Persentase pendidikan
Kemudian untuk dimensi prorakyat, lanjutnya, variabel yang diukur adalah persentase APBD bagi pendidikan dan kesehatan. DIY menempati urutan pertama untuk persentase APBD bagi pendidikan dengan nilai 45,63; sementara Papua Barat dan Gorontalo di dua urutan terakhir, dengan nilai masing-maisng 11,05 dan 11,02.
Agus menegaskan, angka minimal IPBK nasional sebesar 0,5 sebetulnya belumlah maksimal. Suatu indeks dapat disebut bagus apabila nilainya mendekati angka 1. Artinya, pembangunan berwawasan kependudukan di Indonesia juga belum optimal, masih dinilai setengah-setengah.
“Mulai tahun ini Badan Pusat Statistik yang bertugas untuk mencari data-data baru yang diperlukan untuk menghitung IPBK. Rencananya, indikator-indikator di dalamnya akan dilihat setiap dua tahun sekali,” imbuhnya.
Adapun menurut UU Nomor 52 Tahun 2009, ada tujuh prinsip dalam perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga. Dua di antaranya adalah integrasi kependudukan dalam pembangunan, yaitu kependudukan sebagai titik sentral kegiatan pembangunan dan pengintegrasian kebijakan kependudukan ke dalam pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup. [] mrf
*Sumber: Harian Tribun Jogja (19/10) | Ilustrasi penduduk JOGJA/onetimephotography.blogspot.com