Jakarta, KOMPAS – Indonesia akan tumbuh sesuai potensinya jika pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 mampu memanfaatkan peluang emas di dalam dan luar Indonesia.
Potensi yang dimaksud adalah pertumbuhan ekonomi di atas 10 persen melalui industri manufaktur padat karya dan pada saat yang sama meningkatkan kesejahteraan 40 persen penduduk Indonesia yang masih masuk kategori miskin dengan memberi lapangan kerja di sektor formal.
Optimisme itu disuarakan Guru Besar Ekonomi (Emeritus) Universitas Boston Gustav Papanek yang melakukan penelitian bersama Raden Pardede dari CReco Institute dan Prof Dr Suahasil Nazarra dari Universitas Indonesia.
Peluang itu datang dari luar. Ekonomi China tumbuh melalui kebijakan yang konsisten membangun industri manufaktur padat karya untuk menyerap tenaga kerja dengan berbagai tingkat keterampilan. Ketika upah pekerja semakin mahal dan bonus demografi menurun, daya saing produk ekspor China berkurang.
Peluang emas tersebut harus direbut Indonesia saat ini juga karena peluang itu pun diincar negara lain dengan situasi mirip Indonesia, seperti Banglades dan India.
Pada saat yang sama Indonesia juga menikmati bonus demografi sejak 2012. Namun, tingkat keterampilan penduduk produktif kita beragam. Sekitar separuhnya berpendidikan SMP atau kurang.
Bukan hal berlebihan apabila industri manufaktur berorientasi ekspor dan pasar dalam negeri diproyeksikan tumbuh 19 persen per tahun seraya menyerap 11,2 juta tenaga kerja dalam lima tahun ke depan. Industri manufaktur kita pernah tumbuh 34 persen pada 1986-1992.
Apa yang disampaikan Papanek dan kawan-kawan mempertegas hal yang berulang kali dibahas dalam berbagai forum di dalam negeri. Industrialisasi hampir mandek setelah tahun 1998, bahkan sumbangan industri manufaktur terhadap ekonomi nasional pada 2012-2013 minus. Indonesia terlalu bergantung pada ekspor komoditas. Jatuhnya harga di pasar dunia tahun lalu ikut memukul neraca perdagangan.
Tuntutan untuk memperluas basis pembayar pajak dan mengurangi subsidi bahan bakar untuk memperluas ruang fiskal bagi pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan, juga bukan hal baru.
Dengan adanya bonus demografi, mudah bagi ekonomi Indonesia tumbuh di atas lima persen per tahun. Namun, pertumbuhan itu tidak cukup dan kurang berkualitas. Banyak tenaga kerja tidak produktif akibat tak tersedia lapangan kerja berpendapatan layak. Ketimpangan kemakmuran membesar, produk Indonesia makin tidak kompetitif di dalam negeri dan pasar dunia, serta Indonesia kehilangan kesempatan masuk menjadi negara kaya.
Indonesia butuh pertumbuhan berkualitas. Itu hanya dapat dicapai apabila Pemilu 2014 menghasilkan pemimpin yang mampu dan berani mengambil strategi pembangunan berorientasi penciptaan lapangan kerja dan pemerataan. []
*Sumber: Harian KOMPAS, 14 Maret 2014 | Sumber foto: berita.plasa.msn.com