Yogyakarta, PSKK UGM – Menjadi pengungsi di negeri sendiri (displaced person) mungkin merupakan hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Adanya konflik kerusuhan atau bencana alam memaksa orang untuk pergi meninggalkan rumah, harta benda atau bahkan sumber penghasilan. Beruntung apabila masih ada sanak saudara di daerah lain yang masih aman dan bersedia untuk menampung. Jika tidak, menjalani kehidupan di pengungsian menjadi tak terelakkan.
Indonesia adalah wilayah rawan bencana baik bencana karena proses alam maupun akibat perbuatan manusia. Saat bencana terjadi, tak jarang diikuti oleh gelombang pengungsi. Erupsi Gunung Sinabung misalnya, sejak September 2013 sampai saat ini terus berlangsung dan menyebabkan lebih dari 6 ribu jiwa harus mengungsi. Ada pula kasus kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah mulai dari pengusiran sampai perusakan tempat ibadah. Konflik terus meluas dan meruncing terlebih saat Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri diberlakukan. Hingga kini masih banyak jemaah Ahmadiyah yang tinggal di pengungsian.
Dalam situasi krisis, bantuan mengalir dari banyak pihak. Mulai dari bantuan tanggap darurat, rumah tinggal, bantuan padat karya hingga pemulangan ke daerah asal. Kendati demikian, bantuan-bantuan tersebut tidak cukup mampu memulihkan kehidupan para pengungsi. Bisa karena tidak tersalurkan dengan baik, atau karena tidak mampu menjawab kebutuhan spesifik dari kelompok-kelompok pengungsi, misalnya kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi bagi pengungsi perempuan.
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Basilica Dyah Putrantri, Ph.D. (cand) mengatakan, hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) pengungsi perempuan kerap diabaikan dalam situasi konflik maupun bencana. Banyak pihak cenderung memahami bahwa di tengah situasi krisis, pelayanan kesehatan reproduksi tidaklah mendesak. Ada persoalan kesehatan lainnya yang lebih darurat, misalnya penanganan terhadap korban yang mengalami luka-luka. Pelayanan kesehatan reproduksi pada akhirnya hanya menjadi bagian kecil dari penanganan kesehatan secara umum.
Padahal, tidak hanya terbebani oleh trauma berkepanjangan, perasaan tidak aman, dan ketidakpastian akan masa depan, pengungsi perempuan juga menghadapi persoalan kesehatan reproduksi yang begitu kompleks. Mulai dari ancaman tindak kekerasan seksual, penyebaran penyakit menular seksual di tempat-tempat pengungsian serta meningkatnya kasus-kasus kehamilan dan kelahiran berisiko karena terbatasnya akses pelayanan kesehatan reproduksi dalam situasi darurat.
Basilica menemukan potret yang sama saat melakukan studi penanganan kesehatan reproduksi di Poso pascakonflik 2004 lalu. Pada waktu itu, pemerintah daerah setempat khususnya Dinas Kesehatan Kabupaten Poso kurang paham dan peduli terhadap persoalan kesehatan reproduksi di kalangan pengungsi. Kurangnya dukungan politis dan struktural pemerintah justru melemahkan kemampuan unit-unit pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit untuk mengatasi kasus-kasus kesehatan reproduksi yang terjadi di tempat-tempat pengungsian.
Di lain sisi, bantuan yang datang cenderung bersifat karitatif, tidak berkelanjutan, dan belum menjadi suatu standar pelayanan minimal dalam penanganan masalah kesehatan reproduksi pengungsi. Basilica menjelaskan, seringkali hal ini menjadi wajar karena dalam situasi serba darurat, para aktivis kemanusiaan cenderung hanya memikirkan bagaimana agar semua bantuan bisa sampai ke tangan para pengungsi.
Temuan lain dalam studinya itu, yakni kendati dalam kondisi yang terbatas, pengungsi perempuan di Poso bisa mengatasi persoalan kesehatan reproduksi dengan cara mereka sendiri dan didasarkan pada pengalaman pribadi atau kearifan lokal. Untuk memeriksakan diri ke puskesmas atau rumah sakit sudah semacam kemewahan sehingga perlu skala prioritas untuk memutuskan dalam situasi apa pertolongan dari institusi medis modern tersebut dibutuhkan.
“Satu hal yang juga tidak bisa diabaikan adalah peran bidan desa dan dukun terlatih. Tidak turut menempatkan diri sebagai korban, mereka justru berada di garis terdepan untuk tetap memberi layanan kesehatan serta menyalurkan bantuan,” kata Basilica.
Belajar dari konflik Poso, aspek pemberdayaan perempuan dalam situasi darurat harus tetap menjadi perhatian serius. Kelompok rentan seperti perempuan merasakan kesulitan hidup yang lebih karena penanganan pascakonflik tidak memberi ruang bagi aspirasi dan kebutuhan mereka.
Oleh karena itu, perempuan harus tetap mendapatkan respek dan akses di dalam proses pengambilan keputusan. Bukan hanya karena upaya pribadi yang kerap berdasar pada kearifan lokal, melainkan juga karena mereka tahu betul situasi yang terbaik bagi mereka. Dengan demikian, dapat dipastikan cara terbaik untuk mengatasi persoalan kesehatan seksual dan reproduksi saat masa tanggap darurat.
Basilica kembali menekankan, Indonesia selalu dihadapkan pada berbagai situasi yang rentan. Bencana alam bisa terjadi kapan saja. Konflik pertikaian juga bisa pecah sewaktu-waktu. Sama halnya dengan bencana ekologis yang bisa mendorong protes dan aksi perlawanan dari masyarakat. Saat bencana atau konflik terjadi, perempuan menjadi salah satu kelompok yang rentan. Untuk itu, upaya mitigasi bencana dan konflik perlu terus didorong agar terintegrasi dengan hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan baik dalam tataran kebijakan maupun praktiknya di lapangan. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi pengungsi erupsi Gunung Sinabung/unisifm