POTENSI PENULARAN HIV AIDS DI KOTA YOGYAKARTA

26 Oktober 2000 - 15:39:13 | admin

Secara sosial, mengapa penyebaran NAPZA lebih berkembang pada kelompok muda? Salah satu karakter yang dimiliki oleh orang muda adalah demonstration effect dari figur-figur tertentu yang ada di dalam pengalaman hidup mereka sehari-hari. Mereka ini bisa berasal dari teman sekitarnya atau seseorang yang menjadi reference other bagi perilaku sehari-harinya.

Berkembangnya permasalahan NAPZA di Yogyakarta ini salah satunya dipicu oleh masih kecilnya peran institusi dalam masyarakat dalam berbagai upaya pencegahan NAPZA. Institusi masyarakat yang dimaksud disini adalah lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atau berkaitan dengan permasalahan NAPZA yaitu kepolisian, pemerintah daerah, lembaga keagamaan, lembaga kesehatan, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga pendidikan. Berdasarkan hasil pertemuan awal yang ditindaklanjuti dengan konfirmasi dan klarifikasi kepada masing-masing institusi yang hadir dalam pertemuan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa institusi masyarakat masih belum menampakkan peran yang signifikan dalam permasalahan NAPZA.

Beberapa alasan yang masih nampak klise muncul mengapa peran tersebut belum tampak adalah keterbatasan anggaran, sumber daya manusia, fasilitas. Alasan yang lain adalah belum adanya keterpaduan di dalam menangani masalah tersebut, setiap institusi cenderung untuk memiliki program-program sendiri yang tumpang tindih dengan institusi lain dan program bagi permasalahan NAPZA belum didesain secara khusus karena masih diikutkan pada program-program penyuluhan yang lain.

Berdasarkan pola kerja yang demikian ini tampaknya cukup beralasan bahwa di Yogyakarta belum ada program yang menangani masalah NAPZA, apalagi permasalahan IDU yang dikaitkan dengan HIV/AIDS mengingat ada semacam asumsi dari institusi yang bersangkutan bahwa penggunaan IDU di Yogyakarta belum banyak dibandingkan dengan penggunaan zat-zat yang lain. Meski mulai tahun 2000 ini sudah dibentuk Badan Koordinasi Narkotika Daerah (BKND) yang melibatkan banyak institusi tampaknya hingga sekarang masih terbatas pada kegiatan-kegiatan konsolidasi antara institusi.

Sementara itu persepsi masyarakat tentang penggunaan NAPZA tampak pada kecenderungannya untuk menyalahkan pengguna daripada mencari sumber permasalahan yang sebenarnya. Kecenderungan untuk cuci tangan atas permasalahan dan melemparkan kesalahan pada pengguna ini sekaligus merupakan stigma yang selalu dipikirkan dan menghantui para pengguna ketika memiliki keinginan untuk menghentikan kebiasaannya. Situasi ini memicu situasi dimana para pengguna juga mencoba melemparkan ketidakmampuan mereka untuk menghentikan kebiasaan kepada masyarakat dan keluarga khususnya dalam hal penerimaan beserta stigmatisasinya. Hal ini menjadi satu lingkaran yang sulit untuk diatasi karena ada saling kecurigaan di antara dua pihak atas niat baik masing-masing.


*Klik untuk mengunduh makalah: Seminar Bulanan S.296 – Arsanti, Gambit Praptoraharjo, Nasrun Hadi (Pusat Studi Seksualitas-PKBI Yogyakarta | 26 Oktober 2000