Perempuan Yang Terpuruk

26 Juli 2012 - 09:25:00 | admin

 

Perempuan pengungsi menghadapi berbagai permasalahan ketika mereka tinggal di pengungsian. Kehamilan tidak dikehendaki merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh perempuan pengungsi. Fasilitas kesehatan dan KB di tempat tujuan yang secara umum lebih baik dibandingkan dengan fasilitas di daerah asal tidak mampu diakses karena berbagai sebab. Sebab-sebab itu di antaranya adalah masalah keterbatasan finansial dan kesibukan mereka menata hidup di pengungsian serta mempersiapkan rencana kehidupan jika tidak lagi tinggal di pengungsian. Hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya kehamilan tidak dikehendaki di kalangan pengungsi perempuan menikah. Selain itu, relasi gender yang menempatkan perempuan sebagai pihak pasif dan cenderung menuruti kemauan pasangan dalam berhubungan seks menjadi salah satu munculnya permasalahan tersebut.

Remaja perempuan yang belum menikah tidak terlepas dari permasalahan kehamilan tidak dikehendaki. Intensitas pergaulan remaja laki-laki dan perempuan selama tinggal di pengungsian menjadi salah satu pemicu munculnya kasus kehamilan tidak dikehendaki. Tinggal di pengungsian cukup lama secara tidak langsung juga mengakibatkan melonggarnya norma yang dianut. Kondisi tersebut mempengaruhi pola pergaulan dan permisivitas di kalangan remaja dan secara tidak langsung berpengaruh pada munculnya kasus kehamilan tidak dikehendaki.

Kehamilan tidak dikehendaki pada umumnya mendatangkan kegelisahan dan kecemasan pada yang mengalaminya. Bagi perempuan menikah, gambaran sulitnya melahirkan dan membesarkan anak di pengungsian menjadi penyebab munculnya kecemasan tersebut. Di kalangan perempuan yang belum menikah, kecemasan diperparah oleh kekhawatiran bahwa mereka akan ditinggalkan dan tidak dinikahi oleh pasangannya.

Dalam menghadapi kehamilan tidak dikehendaki, perempuan merupakan pihak yang paling aktif dalam mencari penyelesaiannya. Hal itu disebabkan peran gender telah menempatkan perempuan ke posisi sulit dan seolah-olah paling bertanggung jawab dalam pemeliharaan kehamilan dan pengasuhan anak. Oleh karena itu, sebagian perempuan berupaya untuk menggugurkan kandungannya agar terhindar dari kesulitan dalam jangka panjang. Berbagai cara dilakukan untuk mengakhiri kehamilan, di antaranya dengan minum obat-obatan, dengan mengkonsumsi ramu-ramuan tradisional, atau dengan pijat tradisional.

Peran pasangan (suami atau pacar) dalam mengupayakan pengguguran kandungan hampir tidak ada. Bahkan, di kalangan perempuan menikah, sebagian besar tidak menginformasikannya kepada suami. Mereka beranggapan bahwa menginformasikan hal itu kepada suami tidak bermanfaat karena yang akan diterima hanyalah kemarahan atau larangan untuk melakukannya. Tanggapan semacam itu bagi perempuan yang mengalami kehamilan tidak dikehendaki dianggap bukan jalan keluar yang meringankan, namun justru memberatkan mengingat perempuanlah yang mengalami kesulitan jika harus meneruskan kehamilannya.

Upaya untuk mengurangi kasus kehamilan tidak dikehendaki sejauh ini dilakukan melalui pendekatan agaman. Hal ini terutama dilakukan untuk mengeliminasi kasus kehamilan tidak dikehendaki di kalangan perempuan yang belum menikah. Upaya tersebut perlu diperkuat dengan sosialisasi masalah kesehatan reproduksi di kalangan remaja secara lebih intens. Pemahaman yang lebih baik mengenai masalah seks dan kesehatan reproduksi dimaksudkan agar menghindarkan remaja dari perilaku yang berisiko, khususnya risiko mengalami kehamilan tidak dikehendaki. Berbeda dengan kasus kehamilan tidak dikehendaki di kalangan remaja, di kalangan perempuan menikah munculnya kasus tersebut antara lain disebabkan tidak adanya pelayanan KB di tempat pengungsian. Pemberian layanan KB secara jemput bola bermanfaat bagi perempuan pengungsi untuk menghindarkan diri dari kehamilan tidak dikehendaki.