Pengurangan Konflik Peran Kerja dan Peran Keluarga: Siapa Pelakunya?

15 Februari 2001 - 18:37:23 | admin

Sosialisasi peran ganda wanita Indonesia berlangsung melalui harapan bahwa (a) wanita adalah pendamping suami, (b) wanita adalah ibu yang bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan anak, (c) wanita adalah manajer rumah tangga, (d) wanita adalah pencari nafkah yang kedua, dan (e) wanita adalah anggota masyarakat. Dengan waktu, tenaga, dan komitmen yang terbatas, mereka harus bisa menyeimbangkan peran mereka di tempat kerja dan di rumah. Hal ini menjadi prinsip sehari-hari, terutama bagi wanita kawin yang bekerja. 

Namun, sering didengar pernyataan dari mereka bahwa “tanganku ki mung loro”, yang dalam bahasa Indonesia berarti “tangan saya hanya dua”. Ungkapan ini bermakna bahwa mereka mempunyai keterbatasan tenaga, yang artinya bahwa dengan keterbatasan itu mereka mengalami konflik peran. Sebagai contoh, ada seorang ibu, anak sulungnya merengek-rengek minta ditemani belajar, suami minta ditemani makan, dan ketika itu pula si bungsu menangis karena sudah waktunya menyusu. Kondisi ini menggambarkan terjadinya konflik peran dalam keluarga. Seorang ibu yang tidak mempunyai anak kecil pun bisa mengalami konflik, misalnya apabila harus menghadiri rapat di kantor, suami minta didampingi untuk mendatangi selamatan, dan anak tidak berani tinggal sendiri di rumah. Kondisi ini merupakan contoh konflik peran antara peran kerja dan peran keluarga. Di lain pihak, konsep mitra sejajar sudah disosialisasikan, tetapi sejauh mana konsep ini telah membudaya dalam masyarakat? Makalah ini mengungkapkan salah satu contoh perlunya kemitrasejajaran tersebut.

Menurut hasil penelitian, konflik peran lebih dirasakan oleh kaum wanita daripada lelaki. Ada beberapa fenomena sebagai hasil proses sosialisasi yang menyebabkan perbedaan tersebut. Pertama, sifat permintaan peran. Moen (1992) mengatakan bahwa sifat permintaan peran kerja dan peran keluarga bagi wanita adalah serentak (simultaneous roles), sedangkan peran yang harus dilakukan lelaki lebih bersifat berurutan (sequential roles). Peran yang bersifat serentak memerlukan skala prioritas, sedangkan peran yang berurutan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan sendiri. Prioritas peran ini bisa menimbulkan konflik jika tidak sesuai dengan harapan dari pelakunya. Kedua, pembagian kerja seksual di dalam rumah yang tidak seimbang. Wanita masih mempunyai tanggung jawab yang lebih tinggi terhadap peran di rumah, baik sebagai suri rumah (penyapu rumah, pencuci piring, pencuci baju, pemasak, dan lain-lain) maupun sebagai ibu dan peran ini tidak berkurang walaupun mereka bekerja (Hochschild, 1989; Suhatmini dan Bambang, 1991; Emmons et al., 1990). Dikatakan oleh Ray dan Miller (1994) bahwa penggunaan waktu antara waktu untuk wanita dan lelaki tidak sama. Pada umumnya wanita mengintegrasikan antara kepentingan profesi, individu, dan keluarga, sedangkan lelaki secara tradisi menggunakan kepentingan pribadi untuk mendukung kepentingan profesinya. Ketiga, majikan memisahkan urusan kerja dan rumah, artinya majikan menganggap bahwa persoalan di rumah bukan urusan tempat kerja sehingga kebijakan-kebijakan yang memperingan wanita dalam mengurus keluarga belum diperhatikan.

Penelitian tentang konsekuensi konflik peran kerja dan peran keluarga telah banyak dilakukan, seperti terhadap kelelahan emosi, kepuasan kerja, kepuasan keluarga, distress, dan kehabisan tenaga (burnout) (Aryee, 1993; Duxbury, Higgins dan Lee, 1994; Aminah-Ahmad, 1995; Kinnunen and Mauno, 1998). Kepuasan kerja merupakan salah satu variabel yang menarik untuk dikaji mengingat hal ini akan mempunyai dampak lebih lanjut, misalnya terhadap kepuasan hidup (Aminah-Ahmad, 1995) dan penampilan kerja (Suryati, 2000). Untuk mengurangi pengaruh konflik ini terhadap kepuasan kerja, perlu dikaji cara untuk mengatasinya (coping resources), salah satu bentuknya adalah dukungan sosial yang berasal dari orang lain (Cohen and Wills, 1985). Hasil penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa fungsi dukungan sosial tidak konsisten. Bagaimana dukungan sosial ini dapat berfungsi sebagai moderator hubungan antara konflik peran kerja dan keluarga dengan kepuasan kerja, akan didiskusikan lebih lanjut dalam makalah ini. []


*Klik untuk mengunduh makalah: Seminar Bulanan S.298 – Suhatmini Hardyastuti | 15 Februari 2001