Bias Gender dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Secara Litigatif

08 November 2001 - 16:33:06 | admin

Perempuan secara langsung menunjuk kepada salah satu dari dua jenis kelamin, yang dalam kehidupan sosial selalu dinilai sebagai  the other sex yang sangat menentukan mode representasi sosial yang tampak dari pengaturan status dan peran perempuan. Subordinasi, diskriminasi, atau marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa perempuan menjadi the second sex seperti juga sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan. Dikotomi nature dan culture, misalnya telah digunakan untuk menunjukkan pemisahan dan stratifikasi di antara dua jenis kelamin ini (Abdullah, 1997: 1), yang menyebabkan perempuan menjadi objek. Pemisahan itu telah menyebabkan pengingkaran-pengingkaran terhadap hak perempuan dalam berbagai bidang kehidupan sosial. Pengingkaran ini telah menjadi ciri dasar dalam konstruksi laki-laki dan perempuan dalam berbagai bentuk. 

Perbedaan sifat laki-laki dan perempuan yang diyakini sebagai suatu hal yang alamiah terus menerus disosialisasikan, bahkan melalui proses legitimasi simbolik baik oleh pusat-pusat sosiokultural maupun oleh negara. Oleh karena itu, perbedaan gender dapat menimbulkan ketidakadilan, seperti subordinasi, dominasi, marginalisasi, stereotipe, beban kerja, dan kekerasan terhadap perempuan (Fakih, 1997). Selain itu, adanya budaya patriarki yang kuat, telah mendudukkan perempuan pada posisi yang lemah. Hal ini mengakibatkan perempuan rentan terhadap tindak kekerasan, tidak hanya secara seksual dan non seksual, tetapi juga fisik maupun non fisik.

Kekerasan terhadap perempuan merupakan refleksi dari kekuasaan laki-laki atau perwujudan kerentanan perempuan di hadapan laki-laki, bahkan merupakan gambaran dari ketidakadilan terhadap perempuan (Suharman, 1997: 38). Baswardono (1995: 58) mengatakan bahwa, kekuasaan telah merajalela di segala bidang, baik dalam keluarga, pekerjaan, maupun hubungan sosial lainnya. Dengan kata lain, perempuan dapat mengalami berbagai macam bentuk kekerasan, dan kekerasan bisa terjadi di mana saja: di rumah, di tempat kerja, bahkan di tempat umum. Dalam media massa, misalnya, baik audio maupun visual, perempuan selalu ditempatkan sebagai objek. Wajah perempuan yang ditampilkan dalam film menunjukkan dominannya sudut pandang laki-laki. Hal ini menunjukkan dominasi laki-laki masih terjadi di segala sektor kehidupan. Cara pandang laki-laki dalam menokohkan perempuan dalam film, telah membantu mempertahankan susunan masyarakat yang berpihak kepada salah satu gender (Arkeman, 1998: 76-77). Perspektif laki-laki telah merasuki berbagai aspek kehidupan yang memperlihatkan bias-bias dalam pola organisasi sosial (Firestone, 1972).[]


*Klik untuk mengunduh makalah: Seminar Bulanan S.306 – Irwan Abdullah, Siti Ruhaini Dzuhayatin, Dyah Pitaloka | 8 November 2001