Yogyakarta, PSKK UGM – Sebagai program yang bertujuan untuk meningkatkan kesempatan pendidikan dan penuntasan Wajib Belajar 12 Tahun di Kota Yogyakarta, penerapan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) dinilai masih menghadapi persoalan. JPD diberikan kepada siswa yang bersekolah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta serta berasal dari keluarga pemegang Kartu Menuju Sejahtera (KMS).
Hasil Survei Penjaringan Aspirasi Masyarakat Kota Yogyakarta yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada pada 2013 menunjukkan, sebanyak 45,5 persen responden menilai kepemilikian KMS masih kurang tepat sasaran. Masih ada rumah tangga tidak mampu yang belum memiliki KMS begitu pula sebaliknya, ada rumah tangga mampu yang justru memiliki KMS. KMS yang tidak tepat sasaran pada akhirnya akan berdampak pada efektivitas program JPD.
“Persoalan lain dalam JPD adalah sosialisasi. Sebanyak 26,4 persen responden kami mengatakan sosialisasi program JPD masih minim. Kemudian sebanyak 13,6 persen responden berpendapat pencairan dana JPD tidak tepat waktu,” kata Peneliti PSKK UGM, Triyastuti Setianingrum, S.I.P., M.Sc. dalam Focused Group Discussion “Penanganan Siswa Rawan Putus Sekolah dari Keluarga Pemegang KMS (Kartu Menuju Sejahtera)” yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, dari pihak sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf administrasi) yang menjadi provider atau pelaksana program JPD mengatakan, kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan adalah dalam pendataan berkas persyaratan dari para siswa calon penerima JDP (35,1 persen), sistem pelaporan JPD (18,9 persen), pengajuan berkas JPD ke Dinas Pendidikan (16,2 persen), pencairan dana JPD (16,2 persen), dan sosialisasi kepada orang tua atau wali murid (13,5 persen.
Sejak penerapannya, dana anggaran JPD naik dari tahun ke tahun. Pada 2015 misalnya, total dana yang diturunkan mencapai Rp 31,2 milyar meski per 29 Desember lalu baru terserap Rp 27,4 milyar. Jumlah ini naik cukup signifikan jika dibandingkan dengan anggaran JPD yang disediakan Pemerintah Kota Yogyakarta pada 2012, yakni Rp 16,1 milyar. Besarnya anggaran tak lain agar warga Kota Yogyakarta bisa terus bersekolah minimal sampai jenjang pendidikan menengah atas.
Triyastuti menambahkan, Kota Yogyakarta memang memiliki rapor yang baik untuk partisipasi sekolah. Minat masyarakat untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tergolong baik. Hal tersebut ditunjukkan oleh data Badan Pusat Statistik tentang rata-rata lama sekolah di Kota Yogyakarta yang naik dari tahun ke tahun. Rata-rata lama sekolah pada 2014 adalah 11,39 tahun, naik dari 11,36 tahun pada 2013 dan 11,22 tahun pada 2012.
“Namun, tidak bisa dipungkiri, masih ada kasus-kasus putus sekolah di Kota Yogyakarta. Persoalannya bukan lagi karena ketiadaan biaya, melainkan karena rendahnya minat sekolah atau belajar,” kata Triyastuti lagi.
Oleh karena itu, JPD yang semula bertujuan agar tidak ada lagi anak usia sekolah yang putus sekolah karena alasan biaya, menjadi kurang relevan. Beberapa kasus putus sekolah terjadi karena anak tidak lagi minat atau bersemangat untuk bersekolah. Mereka lebih memilih untuk bekerja mencari uang daripada harus bersekolah.
Bagi Triyastuti, hal ini perlu diintervensi, misalnya dengan melakukan pendampingan terhadap mereka. Pendampingan untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi hidupnya nanti dan terutama sekali karena pendidikan adalah hak yang harus diperolehnya.
“Di lain sisi, lingkungan masyarakat juga perlu mendukung dengan menciptakan iklim belajar yang kondusif, misalnya mengaktifkan kembali program jam belajar masyarakat,” jelas Triyastuti. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi pelajar/vembri.blogdetik.com