Yogyakarta, PSKK UGM — Berbicara tentang kebijakan pangan, ada tiga hal pokok pembahasan di dalamnya, yaitu food production, food distribution, dan food consumption—bagaimana pangan diproduksi, didistribusikan serta dikonsumsi. Keitga hal inilah yang biasa diintervensi oleh pemerintah, tak terkecuali di masa pemerintahan Jokowi-JK.
Saat ini pemerintah gencar menjalankan beragam program untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri. Presiden Joko Widodo bahkan memberi target tiga tahun bagi menteri pertanian untuk program swasembada beras, kedelai, dan jagung. Jika tidak tercapai, posisi menteri akan digantikan. Tak hanya sampai di situ, Indonesia juga ditargetkan untuk mencapai swasembada gula dan daging sapi.
Getolnya kerja peningkatan produksi ini terlihat dari beberapa program Kementerian Pertanian, antara lain pencetakan lahan sawah baru, pembangunan waduk dan saluran irigasi, pengadaan mesin traktor hingga pemberian subsidi untuk pupuk dan benih.
Terutama untuk pembangunan waduk, Pakar Ekonomi Pertanian, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Dr. Jangkung Handoyo Mulyo, M.Ec mengatakan, tentu tidak bisa seperti legenda Bandung Bondowoso yang dalam waktu singkat berhasil mendirikan ratusan candi. Program pembangunan 49 waduk yang akan dilakukan selama masa pemerintahan Jokowi disangsikan.
“Pembangunan waduk tidak bisa serta merta dilakukan begitu saja. Ada kaidah-kaidah yang harus dipenuhi, misalnya studi kelayakan dengan melihat beragam aspek baik teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, pembangunan tersebut tidak bisa diletakkan dalam capaian jangka pendek, melainkan jangka panjang,” kata Jangkung.
Memang, pembangunan dalam skala besar dengan nol risiko (zero risk) itu tidaklah mungkin. Namun, pemerintah tetap perlu menerapkan kebijakan yang mampu meminimalisir dampak negatifnya sehingga manfaat atau benefit dari program pembangunan tersebut lebih besar secara keseluruhan. Namun, seringkali pembangunan infrastruktur tidak mengindahkan aspek-aspek lainnya, terutama dampak sosial dan lingkungan.
Intervensi kebijakan permintaan pangan
Bisa dipahami mengapa kebijakan untuk meningkatkan hasil produksi pangan getol dilakukan. Saat ini kemampuan Indonesia dalam menghasilkan pangan sudah jauh lebih rendah. Padahal, jumlah penduduknya terus meningkat. Kemampuan untuk mencetak lahan sawah baru saat ini masih lebih rendah dibandingkan dengan jumlah lahan yang dikonversi.
Umumnya, lahan yang dikonversi merupakan lahan strategis dan subur. Artinya, dekat dengan akses jalan, dan banyak investasi pemerintah di situ seperti saluran irigasi. Bagi Jangkung, ini sebetulnya merupakan bentuk kehilangan yang besar. Kita bisa saja mencetak lahan baru, tapi tingkat kesuburan atau kemampuan untuk menghasilkan belum tentu sebanding dengan yang sebelumnya.
Di lain sisi, Indonesia juga kini tampil sebagai negara dengan perekonomian yang tumbuh cukup baik. “Saat ekonomi bertumbuh, bisa dikatakan akan terjadi peningkatan permintaan terhadap pangan. Artinya, beban untuk menghasilkan pangan pun begitu luar biasa. Sayangnya, saat bicara kebutuhan pangan, mayoritas penduduk masih menyamakannya dengan kebutuhan akan beras,” kata Jangkung lagi.
Program untuk meningkatkan suplai pangan memang lebih terdengar gaungnya. Sementara kebijakan yang memengaruhi aspek demand atau permintaan seperti diversifikasi konsumsi pangan lokal kurang begitu populer. Contohnya, mengurangi konsumsi beras dan menggantinya dengan sumber karbohidrat lainnya. Indonesia memiliki keanekaragaman pangan lokal yang bisa menggantikan beras seperti singkong, jagung, gembili, talas, dan sagu.
Untuk mengubah kebiasaan penduduk mengonsumsi beras memang tidak mudah namun penting untuk dilakukan karena dampaknya jangka panjang. Kementerian Pertanian bisa saja menggandeng Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk sosialisasi dan menerapkannya di sekolah-sekolah terutama bagi anak-anak TK dan SD. Jangkung menilai, selama ini program ini sudah berjalan namun belum benar-benar menjadi gerakan nasional.
“Bagaimanapun kemampuan meningkatkan suplai tidak secepat dengan kebutuhan pangan penduduk. Pertanian menghadapi beragam risiko. Gagal panen bisa terjadi akibat banjir, kekeringan, bahkan eksplosif hama. Maka, sembari jalan, kebijakan dari aspek permintaan pangan juga perlu diintervensi,” jelas Jangkung. [] Media Center PSKK UGM | Foto Pintu Air Waduk Gajah Mungkur/flickr