Jogja (Antara Jogja) – Tenaga medis diharapkan turut berperan menghentikan praktik sunat perempuan, kata peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Basilica Dyah Putranti.
"Sebagai garis terdepan dalam memberikan layanan kesehatan, tenaga medis diharapkan turut mensosialisasikan tentang bahaya komplikasi kesehatan akibat praktik sunat atau perlukaan pada area sensitif perempuan tersebut," katanya di Yogyakarta, Sabtu.
Menurut dia, laporan UNICEF pada 2013 menyebutkan ada sekitar tiga juta anak perempuan yang mengalami praktik sunat setiap tahunnya.
"Bermacam konsekuensi berbahaya dari praktik itu juga dipahami bahkan disaksikan sendiri oleh tenaga medis mulai dari pendarahan, infeksi luka, kematian hingga beban psikologis seperti trauma yang bahkan berlangsung seumur hidup," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, dukungan dari tenaga medis menjadi sangat penting. Jadi, penting untuk melibatkan tenaga medis untuk turut serta dalam upaya menghentikan praktik sunat perempuan.
Ia mengatakan sunat perempuan juga bias gender. Meskipun demikian, praktik sunat perempuan oleh beberapa kelompok masyarakat masih terus dilakukan.
"Praktiknya tidak lagi tradisional melainkan dilakukan tenaga medis. Oleh karena itu, peran dari tenaga medis dipandang penting dalam upaya menghentikan praktik sunat perempuan," katanya.
Menurut dia, tren medikalisasi sunat perempuan terjadi di banyak negara termasuk Indonesia.
"Oleh karena itu, perlu langkah-langkah yang jelas untuk memastikan agar praktik sunat atau perlukaan pada alat vital perempuan tidak dilakukan tenaga medis baik bidan, ginekolog atau dokter spesialis kandungan maupun perawat," kata Basilica. [] Bambang Sutopo Hadi
*Sumber: Antara | Ilustrasi Tenaga Medis/sinarharapan.co