Yogyakarta, PSKK UGM – Pendidikan adalah satu dari setumpuk persoalan krusial yang dialami oleh daerah-daerah terpencil di Indonesia. Fakta di lapangan menunjukkan masih ada persoalan pendidikan yang mendasar, seperti jumlah dan kualitas sumber daya manusia pendidikan yang terbatas, komunikasi sekolah dan pemerintah daerah yang lemah, partisipasi masyarakat yang rendah, dan infrastruktur yang tidak memadai. Persoalan-persoalan itu kerap berdampak pada tingginya tingkat mangkir para guru.
Sejak 2009, anggaran pendidikan mencapai 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan setengah darinya dialokasikan untuk gaji dan tunjangan guru. Jumlah pagu yang terus meningkat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir bertujuan untuk mendorong perbaikan terhadap kesejahteraan guru. Bagi guru yang telah disertifikasi, besaran tunjangan profesional dapat mencapai satu kali gaji pokok. Apabila guru yang telah disertifikasi tersebut ditempatkan di daerah khusus dan mendapatkan tunjangan khusus, maka pendapatannya bisa mencapai tiga kali gaji pokok.
“Namun, hasil serta capaian pendidikan terutama di wilayah perdesaan dan terpencil masih saja terpuruk. Meski kesejahteraan guru berangsur membaik, hasil pencapaian belajar para siswa di Indonesia masih rendah,” kata Sumini, M.Si. Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.
Kesenjangan pelayanan dan pencapaian pendidikan di daerah perkotaan dan perdesaan juga masih cukup tinggi. Data Badan Pusat Statistik 2012 menunjukkan, lebih dari 50 persen penduduk di perdesaan berusia 15 tahun ke atas belum atau baru tamat pendidikan sekolah dasar. Sementara di perkotaan jumlahnya mencapai 30 persen. Selain itu, tingkat kemangkiran guru di daerah terpencil dan guru penerima tunjangan khusus juga relatif lebih tinggi.
Tak terkecuali di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Baru-baru ini dinas pendidikan setempat mendorong upaya peningkatan mutu pendidikan di daerah terpencil menggunakan indikator kehadiran guru di kelas. Upaya tersebut diperkuat dengan intervensi Kinerja dan Akuntabilitas Guru (KIAT Guru) yang difasilitasi oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
Meski upaya membangun pendidikan melalui kebijakan KIAT Guru telah dilakukan, sejumlah persoalan masih ditemukan. Sumini mengatakan, studi uji coba KIAT Guru di sepuluh sekolah dasar di Kabupaten Ketapang yang dilakukan PSKK UGM pada 2015 lalu menemukan, tingkat mangkir guru di kelas mencapai 32,02 persen.
“Mangkirnya kehadiran sebagian guru ini karena alasan geografi dan kondisi alam. Misalnya, jalanan rusak yang tidak dapat dilalui akibat hujan deras. Kondisi-kondisi seperti ini tentu saja mempengaruhi perkembangan kemampuan belajar siswa,” kata Sumini lagi.
Studi menemukan kemampuan bahasa Indonesia siswa di bangku kelas 6 yang sesuai kontinum hanyalah 30 persen. Kemampuan belajar siswa di bidang matematika pun belum menggembirakan. Sebagai contoh, lebih dari 80 persen siswa kelas 6 belum memiliki kemampuan matematika sebagaimana seharusnya. Kemampuan matematika mereka masih berada pada kontinum di bawahnya, yaitu kelas 4.
Untuk itu, pemerintah daerah harus melakukan terobosan dengan membangun infrastruktur fisik, baik jalan maupun sarana dan prasarana pendidikan yang layak. Upaya ini tak lain untuk memutuskan faktor keterpencilan. Prioritas harus diberikan dengan mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk memecah kebuntuan ini. [] Media Center PSKK UGM | Foto: Kondisi infrastruktur sekolah yang rusak/metrotvnews.com