JAKARTA, KOMPAS – Menyambut Hari Pendidikan Nasional, gugatan terhadap penyelenggaraan pendidikan pada berbagai aspek dan tingkatan mengemuka. Salah satu topik yang relevan adalah pendidikan karakter, terutama jika dikaitkan dengan fenomena sosial.
Fakta yang dihimpun Kompas sepekan terakhir menunjukkan, sebagian satuan pendidikan di sejumlah wilayah belum optimal mengajarkan pendidikan karakter. Budaya instan justru bersemai di sekolah. Lembaga pendidikan dibayangi pragmatisme. Pembelajaran larut dalam orientasi hasil dan menafikan proses. Mentalitas menerabas pun marak.
"Budaya malu jika berbuat salah makin luntur. Coba amati, pejabat pemerintah dan legislatif yang tersangkut kasus korupsi kini rata-rata berusia makin muda ketimbang era 5-10 tahun lalu. Pendidikan mereka makin bagus, berijazah magister-doktoral. Tetapi, di depan kamera, mereka senyum-senyum tanpa merasa malu," ujar Said Hamid Hasan, guru besar emeritus dari Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Minggu (1/5).
Berorientasi nilai
Ketidakjujuran yang klasik tampak dalam sistem penilaian dan evaluasi belajar. Kasus paling aktual terjadi pada penyelenggaraan ujian nasional (UN) SMA/SMK/MA sederajat awal April lalu. Meski bukan lagi penentu kelulusan, UN tetap saja tak luput dari praktik kecurangan, seperti kebocoran soal dan kunci jawaban. Padahal, dengan penerapan UN berbasis komputer, evaluasi belajar diharapkan bebas dari ketidakjujuran. Ironisnya, kecurangan tersebut melibatkan guru di sejumlah tempat.
Seorang siswa sebuah SMA di Makassar, Sulawesi Selatan, mengatakan, contek-mencontek saat ujian kerap terjadi meski pihak sekolah dan guru melarang hal itu. "Biasanya, nyontek kalau soal ujian yang keluar berbeda dengan apa yang sudah dipelajari, apalagi kalau ujiannya berbentuk esai," ujarnya. Meskipun menyadari perbuatan itu tidak terpuji, ia tetap melakukannya demi mendapatkan nilai bagus.
Direktur Pendidikan Karakter Education Consulting Doni Koesoema mengatakan, praktik pendidikan yang mengutamakan angka atau hasil yang terkuantifikasi membuat pendidikan karakter di sekolah tumpul. Adanya ketentuan soal kriteria ketuntasan minimal (KKM) memicu ketidakjujuran guru untuk menyelamatkan siswa.
Bagi guru, KKM menjadi indikator telah melaksanakan tugas meski mengatrol nilai. Citra sekolah pun terangkat karena siswanya lulus semua. Siswa malas belajar karena tahu akan dibantu guru.
Novita, ibu yang dua anaknya bersekolah di SMP dan SMA di Jakarta Timur, mengatakan, target angka dari sekolah memancing pihak tertentu untuk tidak jujur, termasuk dalam ujian nasional.
Perguruan tinggi pun tak luput dari krisis budaya malu. Dalam pengajuan guru besar/profesor, acap kali muncul kasus penjiplakan karya ilmiah. Ketua Tim Penilaian Angka Kredit yang juga Guru Besar Institut Teknologi Bandung Yanuarsyah Haroen belum lama ini mengatakan, syarat publikasi internasional dirasa berat. Akhirnya, ada yang menjiplak publikasi orang lain dan diakuinya sebagai karya sendiri.
Menanggapi hal itu, Guru Besar Sosiologi Pendidikan yang juga Rektor Universitas Sebelas Maret Solo Ravik Karsidi menilai, budaya malu luntur karena kesalehan individu tak diimbangi kesalehan sosial. "Revolusi mental hendaknya tidak hanya slogan, tetapi juga harus menjadi gerakan sosial dari lingkup keluarga, sekolah, hingga perguruan tinggi," ujarnya. [] (ABK/ELN/DNE/WSI/ENG/IVV/NAR)
*Sumber: Harian Kompas Cetak, 2 Mei 2016 | Ilustrasi anak sekolah/pojoksatu.id