Metrotvnews.com — PRESIDEN Jokowi tentang Revolusi Mental di harian Kompas (10/5/2014) menyebutkan bahwa hasil pembangunan yang belum optimal yang diselenggarakan pemerintah terutama diakibatkan mental bangsa yang belum berubah sejak era Orde Baru. Meskipun ada kemajuan, itu baru sebatas perubahan institusi dan belum menyentuh perubahan manusia. Karena itu, untuk mengoptimalkan hasil pembangunan, menurut Jokowi, revolusi mental perlu dilakukan. Revolusi mental menyangkut perubahan paradigma dan mindset dalam rangka membangun bangsa (nation building) yang dimulai tiap-tiap diri.
Revolusi mental ber-KB
Ternyata, rekam jejak mental bangsa yang digambarkan Jokowi itu pun terlihat dalam pelaksanaan program KB. BKKBN sebagai lembaga yang berwenang dalam pembangunan kependudukan dan KB secara institusi memang mengalami perubahan organisasi. Namun, celakanya, itu belum berdampak pada kemajuan ber-KB, itu termanifestasi dari angka kelahiran yang stagnan sebesar 2,6 selama dekade 2002-2012.
Diketahui, di era Reformasi, institusi BKKBN hanya bergerak vertikal hingga level provinsi dari semula vertikal hingga level kabupaten/kota pada era Orde Baru. Namun, perubahan institusi itu tidak membawa dampak positif terhadap pembangunan kependudukan dan KB.
Padahal, perubahan institusi itu bertujuan memberikan keleluasaan bagi pemerintah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan pembangunan kependudukan dan KB. Pasalnya, persoalan kependudukan berbeda di tiap-tiap daerah. Hal itu juga sejalan dengan bergesernya penentuan keputusan ber-KB, dari semula berada di pihak pemerintah selama Orde Baru menjadi di pihak keluarga pada era Reformasi.
Namun, masyarakat tampaknya belum sepenuhnya siap atas perubahan keputusan ber-KB. Itu termanifestasi dari angka kelahiran yang stagnan pascapemberlakuan otonomi daerah sejak 2001. Keikutsertaan program KB juga hanya mengalami sedikit kenaikan selama satu dekade, yakni dari 60% pada 2002 menjadi 61,9% pada 2012, atau naik sekitar 2%.
Boleh jadi, meski masyarakat kini berada pada era Reformasi, mindset ber-KB mereka masih dipengaruhi nuansa Orde Baru. Padahal, perubahan keputusan dari pemerintah ke keluarga menuntut kemandirian. Hal itu tentu memerlukan perubahan perilaku dalam ber-KB.
Perilaku dalam ber-KB yang belum berubah, antara lain, tecermin dari sebagian suami, keluarga, dan masyarakat yang tidak mendukung perempuan ber-KB. Faktanya, tidak sedikit pihak yang memiliki mindset, misalnya, banyak anak menentukan rezeki, kawin di usia muda, dan khawatir kesuburan terganggu akibat ber-KB.
Mindset ber-KB yang belum berubah pada sebagian pihak menyebabkan tidak sedikit perempuan yang ingin ber-KB tapi tidak kesampaian untuk melakukannya. Fenomena itu disebut dengan unmet need. Hasil SDKI 2012, misalnya, menunjukkan unmet need mencapai sekitar 11,4%.
Jika saja fenomena unmet need dapat ditiadakan, itu akan sangat berarti dalam pencapaian keikutsertaan program KB di Tanah Air yang secara agregat berpotensi mencapai 73,3%. Dampaknya, angka kelahiran berpotensi berkurang sekitar 500 ribu-750 ribu kelahiran dari kisaran rata-rata jumlah kelahiran per tahun sebesar 3 juta-3,5 juta.
Mendistorsi bonus demografi
Sejatinya, revolusi mental ber-KB bertujuan mengakselerasi penurunan angka kelahiran yang kini amat diperlukan guna mewujudkan kehadiran bonus demografi. Hal itu mengingat kehadiran bonus demografi hingga puncaknya, yang diperbincangkan selama ini, baru merupakan suatu skenario berdasarkan hasil Proyeksi Penduduk 2010-2035 dengan asumsi angka kelahiran sebesar 2,1 pada 2025. Adapun penetapan angka kelahiran sebesar 2,1 bertujuan agar jumlah penduduk stabil.
Secara faktual, hal itu sekaligus mengisyaratkan bahwa upaya memanfaatkan bonus demografi bisa meleset jika angka kelahiran tidak turun. Untuk itu, upaya pemanfaatan bonus demografi perlu disinergikan dengan upaya menurunkan angka kelahiran.
Bahkan, semakin cepat angka kelahiran dapat diturunkan, peluang pemanfaatan bonus demografi kian besar mengingat kemampuan pemerintah kian bertambah dalam menyiapkan kualitas generasi muda sebagai penggerak pembangunan bangsa ke depan.
Turunnya angka kelahiran dan pemanfaatan bonus demografi merupakan relasi yang saling menguatkan (mutualy reinforcing). Sebaliknya, kegagalan menurunkan angka kelahiran akan makin menghancurkan potensi pemanfaatkan bonus demografi, atau bersifat mutually stifling.
Dua anak cukup
Atas dasar itu, revolusi mental ber-KB amat diperlukan agar bonus demografi dapat terwujud dan optimalisasi nation building dapat tercapai. Adapun tujuan akhir dari revolusi mental ber-KB ialah terwujudnya dua anak.
Untuk menginspirasi perubahan mental dalam ber-KB, barangkali diperlukan acuan yang jelas dari pemeritah. Dalam kaitan itu, slogan 'dua anak cukup' yang telah lama digulirkan pemerintah barangkali bisa dijadikan acuan untuk melakukan revolusi mental ber-KB.
Slogan 'dua anak cukup' secara substansi memang bisa dijadikan acuan dengan mengubah kata CUKUP menjadi singkatan dari cerdas, unggul, kreatif, dan umur panjang'. Secara faktual, akronim dibalik kata 'CUKUP' itu bernuansa pembangunan manusia dari dimensi pendidikan (cerdas dan unggul), daya beli (bekerja dengan kreatif), dan kesehatan (umur panjang).
Selanjutnya, pemerintah secara konkret perlu mengimplementasikan acuan itu dengan memberikan jaminan keberlangsungan memperoleh pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan, terutama untuk keluarga tak mampu. Memiliki anak sedikit dan berkualitas dapat dijadikan sebagai bukti untuk menginspirasi masyarakat tentang pentingnya ber-KB.
Sangat diharapkan adanya komitmen bersama pemerintah dan masyarakat untuk melakukan revolusi mental dalam rangka pembangunan kependudukan dan keluarga berencana untuk masa depan bangsa yang lebih baik. [] Razali Ritonga, Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
*Sumber: Metrotvnews.com |