Yogyakarta, PSKK UGM – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada bersama Asia Research Institute, National University of Singapore menyelenggarakan diseminasi hasil penelitian “Migrating out of Poverty” sekaligus pemutaran dua film pendek yang memotret kehidupan buruh migran asal Indonesia. Acara berlangsung di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Senin (2/5) dan menghadirkan Dr. Maria Platt, Research Fellow di Asia Research Institute, National University of Singapore dan Dr. Sukamdi, Peneliti Senior PSKK UGM sebagai narasumber.
Film pendek pertama adalah “Ceria: Reading across World” yang menceritakan kisah Ristani Ningrum, seorang buruh migran asal Indonesia di Singapura. Ristani adalah satu dari sekitar 200 ribu perempuan di Asia Tenggara yang bermigrasi ke Singapura untuk bekerja. Sehari-hari dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) dan salah satu kegiatannya adalah membacakan buku untuk anak majikannya.
Dari sinilah, dia mulai terinspirasi untuk membuka perpustakaan kecil bagi anak-anak di kampung halamannya, di Desa Bader, Madiun. Tidak muluk, hanyalah sederhana, Ristani ingin membawa sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat di desanya, khususnya anak-anak. Perpustakaan Ceria berhasil dibangun dan hingga kini selalu ramai dikunjungi oleh anak-anak. Keberadaan perpustakaan ini juga turut membuka akses anak-anak, khususnya yang kurang mampu untuk bisa mengakses buku.
“Film ini menunjukkan, ternyata tidak semua migran orientasinya hanya soal ekonomi. Ada contoh seperti Ristani yang membangun perpustakaan anak-anak. Migran dengan cara pandang yang lebih maju seperti inilah yang dibutuhkan untuk bisa keluar dari jebakan kemiskinan yang ada di perdesaan,” kata Sukamdi.
Film pendek kedua adalah “Mimpi Anak Desa: Small Town, Big Dreams” yang secara garis besar bercerita tentang bagaimana pengaruh para orang tua yang bermigrasi ke luar negeri terhadap cita-cita atau harapan anak-anaknya. Mengambil lokasi pengambilan gambar di Ponorogo, Jawa Timur, film ini menampilkan Nisa, anak dari seorang buruh bangunan yang bekerja di Brunei Darussalam. Nisa bercita-cita menjadi perawat dan ayahnya bekerja bertahun-tahun tak lain agar uang kiriman (remitan) bisa dipergunakan Nisa untuk bersekolah di jurusan keperawatan.
Tidak hanya Nisa, ada banyak pengalaman lain yang serupa. Para orang tua di Ponorogo bekerja di luar negeri dan pendapatannya dikirimkan untuk membiayai pendidikan yang lebih tinggi bagi anak-anak mereka. Sebuah keputusan emosional yang sebetulnya sulit karena di satu sisi mereka harus meninggalkan anak-anak mereka dan di sisi lain, bermigrasi seperti menjadi satu-satunya jalan untuk bisa mendapatkan penghasilan yang lebih.
Maria mengatakan, sebagian besar remitansi biasanya digunakan untuk keperluan rumah tangga migran dan investasi pendidikan. Hasil penelitian MOOP 2013 menunjukkan, 35 persen remitansi digunakan untuk memenuhi basic needs atau kebutuhan dasar dan 26 persen digunakan untuk pendidikan dan tunjangan anak. Sementara 8 persen digunakan untuk pembelian barang-barang rumah.
“Ada juga yang mengalokasikannya untuk tabungan, namun jumlahnya sedikit. Hasil penelitian memperlihatkan, hanya sekitar 5 persen dari remitansi yang ditabung. Memang ada keinginan untuk menabung lebih, namun kebutuhan dasar lainnya juga cukup banyak,” kata Maria.
Sukamdi menambahkan, barangkali hal itu pula yang menjadi penjelasan mengapa migrasi masih belum mampu menjadi strategi atau cara untuk keluar dari jerat kemiskinan. Banyak migran memperoleh uang dan habis untuk memenuhi kebutuhan dasar. Wajar jika kemudian, mereka belum mampu melakukan investasi produktif. Ditambah lagi, gaji mereka juga banyak dipotong untuk membayar biaya pelatihan yang sebelumnya telah diberikan oleh perusahaan penyalur tenaga kerja.
“Oleh karena itu, pelatihan bagi pekerja migran sebaiknya diambil alih oleh negara, melalui Kementerian Pendidikan. Mengapa? Karena biaya paling besar dalam pengiriman migran adalah pelatihan guna mempersiapkan tenaga kerja ke luar negeri. Seharusnya biaya ini tidak ditanggung oleh migran,” kata Sukamdi lagi.
Sebagai gambaran, untuk melunasi hutan biaya pelatihan, seorang buruh migran setidaknya harus bekerja selama enam sampai delapan bulan agar bisa lunas. Apabila dia bekerja dengan kontrak dua tahun, maka 1/3 waktunya bekerja hanyalah untuk mengembalikan hutang biaya pelatihan. Tidak banyak keuntungan yang diperolehnya, terlebih untuk bisa keluar dari kemiskinan. [] Media Center PSKK UGM